The Kingdom Out of Nowhere (Chapter I)
Banyak cerita romantis dan menyentuh antara dua orang yang terlampau berbeda terjadi dalam cerita fiksi yang biasa kita baca. Si miskin dan si kaya, si cantik dan si buruk rupa, bahkan manusia dengan vampir. Padahal kenyataannya tidak begitu. Oleh karena itulah manusia menciptakan film, novel, dsb. Karena hanya di dunia khayalan itulah, cinta untuk mereka bisa benar-benar terjadi. Tapi, aku mulai meragukan hal ini sekarang.
Dunia yang begitu luas dan indah ini dihuni oleh bermilyar-milyar manusia dari segala macam etnis, budaya, agama, dan usia. Namun, percayakah jika dunia ini hanya milik kita? Milik kaum manusia?
Jika kamu ingin memastikannya, amati sekelilingmu lebih baik lagi. Semakin cermat dan teliti kita mengamati sesuatu, semakin besar kemungkinan untuk menyadari kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di sekeliling kita. Maka, jangan pernah berhenti menjadi pengamat yang baik. Inilah yang kulakukan sepanjang umurku. Mengamati.
Sejak awal aku tau, ada yang aneh dari desaku. Dari kecil hingga sekarang, aku sering menemui kejanggalan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Bagaimana bisa sebuah lonceng berbunyi ketika tidak ada angin sama sekali. Jika yang kumaksud lonceng di depan rumah orang-orang dan hanya sesekali saja berbunyi, bolehlah meremehkan dugaanku itu. Tapi ini adalah lonceng sebesar kubah yang beratnya pasti lebih dari 1 ton yang bertengger manis di menara air dekat sungai Mica dan tentu saja terlalu sering berbunyi untuk tidak dihiraukan. Apa yang bisa kukatakan?
Bagaimana perasaanmu jika suatu saat kamu merasa seperti diikuti, padahal ketika kamu menoleh tidak ada siapapun di belakang mu. Dan ketika sekelebat saja matamu menjadi tidak fokus. Aku sangat sering mengalaminya, hingga aku pun menjadi takut, sekaligus penasaran setengah mati. Ketika kecil, aku pernah menanyakan perihal lonceng itu kepada ibuku, namun jawaban yang kuperoleh tidak bisa membuatku yakin. Ibu berkata bahwa lonceng itu dipasang di menara air sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Saat malam, ketika ibuku masih kecil dia sering terjaga karena lonceng itu berbunyi. Semua orang di desanya pada saat itu juga tahu bahwa lonceng itu dibunyikan oleh arwah prajurit perang pada zaman dahulu sebagai tanda bahwa ada bahaya. Ibuku mempercayainya, begitu pula seluruh warga desaku. Bahkan, teman-temanku pun beranggapan begitu.
Lalu, kenapa aku merasa tidak yakin? Karena aku selalu mengamatinya. Mengamati setiap bunyi lonceng di kejauhan bahkan saat malam tiba. Kupikir, jika memang arwah prajuritlah yang membuat lonceng itu berbunyi pasti arwah itu akan membunyikan lonceng sebagaimana kebiasaannya dulu, entah sekali, dua kali atau 3 kali. Namun, tidak demikian yang terjadi.
Saat itu, aku berumur 11 tahun. Malam ketika aku berusaha memejamkan mata, aku mendengar bunyi lonceng tersebut di kejauhan. Teng.. Teng.. Teng.. Tiga kali bunyi lonceng. Kucoba untuk tidak menghiraukannya dan melanjutkan tidurku. Malam selanjutnya aku mendengar hal yang sama, namun entah kenapa aku memeprhatikannya. Kali ini lonceng itu hanya berbunyi satu kali. Aku merasa aneh, hingga akhirnya kuambil buku harianku dan menuliskan pada tanggal kemarin 3 bunyi lonceng, dan hari ini satu bunyi lonceng. Pada akhirnya, karena selalu terbangun akibat bunyi lonceng, aku punya kebiasaan aneh untuk mencatat berapa banyak lonceng itu dibunyikan.
Saat berusia 12 tahun, aku mulai memperhatikan coretan-coretan jumlah bunyi lonceng di buku harianku secara lebih seksama. Tiga, satu, dua, dua, dua, dst selalu dua bunyi lonceng di bulan Maret. Tiga, dua, satu, satu, satu dst satu bunyi lonceng di bulan Desember. Kenapa pola yang dibentuknya berbeda? Ketika kuperhatikan lagi, setiap bulan yang urutannya ganjil (Maret, Mei, Juli, September, November), setelah 3 kali dan 1 kali bunyi lonceng, sisanya selalu dua bunyi lonceng. Dan ketika menginjak bulan yang urutannya genap (April, Juni, Agustus, Oktober, Desember), bunyi lonceng berubah menjadi satu bunyi lonceng setelah 3 kali dan 2 kali bunyi di awal bulan. Aneh bukan?
Tidak hanya itu. Aku terbiasa mencatat jumlah bunyi lonceng jika berbunyi, dan sampai saat ini pun masih begitu. Tapi, saat itu, suatu hari ditengah musim panas kudengar 9 kali bunyi lonceng berturut-turut. Ada apa? Apa yang terjadi? Apa arwah si prajurit merasa kesal dengan musim panas ini, ataukah terjadi sesuatu yang lain? Kubuka jendelaku saat itu juga. Angin dingin berhembus melewati tubuhku, menyapu setiap inci bagian kamarku. Kupandang sekelilingku, dan nihil. Tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Kuhembuskan nafasku perlahan, menahan kekecawaan dalam hatiku. Lalu, kupandang langit yang cerah diatas kepalaku. Saat itulah, jantungku berhenti berdegup, kepalaku tersentak begitu kuat hingga nyaris terjatuh. Aku melihatnya, pekikku dalam hati.
Ya, aku
melihatnya. Sesosok tubuh kecil berbalut mantel tebal yang bergelayut diam di
pohon menyita perhatianku seluruhnya. Entah hal apa yang kurasakan saat itu,
antara senang, kaget, takut, dan tertarik hingga seluruh tubuhku bergetar.
Sedemikian takutnya aku hingga jeritan yang kuteriakkan sama sekali tidak terdengar,
mulutku terbuka lebar sia-sia tanpa mengeluarkan secuil bunyi apapun. Kubungkam
mulutku dengan tangan dan kucoba untuk membuat tubuhku berhenti bergetar,
karena makhluk apapun itu yang kulihat sama sekali tidak bergerak. Sepertinya
makhluk itu sama kagetnya dengan diriku.
Perlahan
kugeser kakiku kebelakang, mencoba untuk secepatnya berlari keluar dari
kamarku. Namun, belum sempat aku bergerak makhluk itu menyerang masuk melalui
jendela menuju tubuhku. Tidak sempat memejamkan mata, disertai dengan teriakan
yang tak bersuara, aku jatuh terjerembab bersama dengan makhluk itu. Belum
sempat untuk memfokuskan pandanganku, makhluk itu pun berpindah dengan gerakan
yang cepat ke salah satu sisi pojok kamarku.
Sebenarnya aku
merasa sangat takut saat itu, tapi rasa marahku lebih mendominasi. Seenaknya
saja makhluk itu menyerangku dan masuk ke kamarku seperti itu. Aku beranjak
berdiri secepat yang kubisa. Dengan sedikit gemetar aku menatap makhluk kecil
dipojokan kamarku itu, berusaha untuk mengatakan, ‘Apa yang kau lakukan?’.
Makhluk itu mulai bergerak, kali ini gerakannya lebih normal, seperti manusia.
Itu benar, ketika diperhatikan lebih seksama lagi makhluk itu jelas berwujud
manusia. Lebih tepatnya anak kecil, sepertinya seumuran denganku. Perlahan
makhluk itu membuka tudung kepalanya. Kurasa karena terlalu sering membaca
novel fiksi aku jadi semakin sering berhayal. Dan akibatnya, sering kali aku
tidak bisa membedakan antara hal nyata dan hayalanku. Tapi yang ini, sejelas
kuku jariku dan sejernih tetes embun di pagi hari, aku melihatnya.
Gadis kecil
dengan wajah yang cantik, dan kulit yang merona karena kedinginan kini berdiri
tidak jauh dariku. Matanya berwarna biru, seperti birunya lautan. Jernih dan
menerawang. Rambut ikalnya jatuh di bahu dengan manis. Tipe gadis yang hanya
bisa kau temui di kerajaan-kerajaan. Seorang putri yang punya segalanya.
Semakin lama aku mengamatinya, semakin aku merasa aneh. Bagaimana bisa gadis
cantik dan kecil seperti dia bisa menabrakku hingga terjatuh. Bukan apa-apa,
tapi secara fisik aku lebih tinggi darinya, dan aku selalu pergi jogging
bersama nenek di pagi hari.
Lamunanku
terusik ketika gadis itu mulai membuka mulutnya untuk berbicara.
“Hai.”
Ucapnya.
Apa tidak ada
kata-kata lain yang bisa diucapkannya selain ‘hai’? Dia pikir dia siapa bisa
menyerang orang seenaknya dan masuk ke kamarku begitu saja? Benar-benar, gadis
kerajaan yang sombong.
“Ah, maafkan
aku. Aku tidak bermaksud untuk menyerangmu dan masuk ke kamarmu seenaknya. Aku
hanya..” gadis itu terlihat ragu sejenak.
“Umm, bolehkah
aku tinggal disini sebentar. Sekarang sangat dingin di luar sana.” Pintanya
kemudian.
Kurasa tidak
ada yang mengharuskanku untuk menerima permintaannya, mengingat apa yang sudah
dilakukan gadis itu padaku beberapa saat yang lalu. Tapi keinginan untuk
mencari tahu darimana asal gadis itu, siapa dia, dan apa yang dilakukannya di
atas pohon tadi, serta bagaimana dia bisa menyerangku secepat itu bahkan sebelum
aku sempat berkedip, menggodaku untuk membiarkannya tinggal.
“Baiklah, kau
boleh tinggal. Tapi ada syaratnya..” balasku.
“Oh,
terimakasih. Katakan padaku apa syaratnya.”
“Pertama, kau
harus menjawab semua pertanyaan yang kuajukan. Dan yang kedua kau tidak boleh
berbohong. Setuju?” tawarku.
Gadis itu
kelihatan berpikir keras. Terlihat dari ekspresi wajahnya bahwa dia memikirkan
tawaranku dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia menengok ke luar jendela dengan
gugup. Kemudian saat kesabaranku hampir habis, dia mendongak menatap mataku.
“Aku setuju.”
Ucapnya.
Dan aku tidak
bisa menyembunyikan senyum yang perlahan merekah dibibirku.
“Boleh aku
meminta sesuatu. Tolong tutup pintu jendelanya, aku sangat kedinginan.” Pinta
gadis itu lagi.
Ada keanehan
yang ganjil pada suaranya, tapi melihat keadaannya yang sepertinya benar-benar
kedinginan aku pun beranjak keluar untuk menutup jendelaku.
“Baiklah.
Jendelanya sudah tertutup, kau boleh duduk di kasurku. Apa aku harus
membuatkanmu minuman hangat?” tanyaku padanya.
“Oh, tidak..
tidak.. Terima kasih. Tapi ini saja sudah cukup.”
Gadis itu
berjalan ke kasurku dan duduk disana dengan tidak nyaman. Entah apa yang harus
kulakukan agar dia merasa nyaman.
“Bolehkah aku
menanyakan pertanyaan pertamaku sekarang?” ucapku setelah beberapa saat.
“Tentu saja.”
“Siapa namamu
dan darimana asalmu?” tanyaku.
“Ingat, kau
tidak boleh berbohong. Meskipun aku tidak tahu apakah kau berbohong atau tidak,
tapi kau sudah membuat janji tadi. Gadis yang baik tidak pernah melanggar
janjinya.” ancamku mencoba memperingatkan gadis itu agar tidak berbohong.
“Aku tahu. Aku
tidak akan berbohong. Tapi sebelumnya aku ingin kau berjanji padaku sesuatu.”
“Apa?”
“Ketika kau
mendengar kisahku, berjanjilah untuk tidak menyela dan terimalah apa yang
kuceritakan apa adanya karena aku berani bersumpah demi apapun di dunia ini
bahwa aku tidak berbohong. Yang kedua jangan pernah menceritakan kejadian ini
kepada siapapun, atau kau sendiri yang akan menanggung akibatnya.” Tuturnya
panjang lebar.
“Apa kau
mencoba mengancamku? Karena kalau iya percayalah aku tidak takut sama sekali.”
Ucapku mencoba terdengar sebagaimana yang aku ucapkan.
“Oh ya Tuhan,
tentu saja tidak. Aku tidak mencoba untuk mengancammu. Gadis yang baik tidak
akan pernah mengancam kau mengerti?”
“Baiklah kalau
begitu, aku berjanji. Dan aku pasti akan menepati janjiku. Kau tidak perlu
khawatir.”
“Bagus. Namaku
Kathrina dan aku adalah seorang putri dari Kerajaan Philossen.”
“Never heard
that before. Dimana tepatnya kerajaanmu itu?”
“Disini. Tepat
berdampingan dengan desa dimana kau tinggal.”
“Yang benar
saja. Kau pikir aku sebodoh itu? Meskipun nilai pelajaran sejarahku C tapi aku
tahu setidaknya daerah disekitar desaku. Tidak pernah seumur hidupku aku
mendengar nama kerajaanmu sekalipun.”
“Bukankah aku
sudah bilang jangan menyela dan aku mengatakan yang sejujurnya. Aku tinggal
tepat dimana kau sebut hutan Azoria disebelah desamu ini. Menara air di dekat
sungai Mica adalah gerbang belakang kerajaanku. Desamu dan kerajaanku terpisah
oleh sungai Mica.”
“Seandainya
semua yang kau katakan itu benar, bagaimana bisa para penebang kayu dan pencari
akar-akar tumbuhan di hutan tidak pernah mengatakan melihat kerajaan disekitar
sini?”
“Itu karena manusia
biasa sepertimu tidak bisa melihat kerajaanku. Untuk memasuki gerbang kerajaan,
tidak hanya dengan melewati sungai Mica saja tapi ada tempat khusus yang
merupakan portal untuk masuk ke duniaku, kerajaan Philossen.”
“Benar-benar
mengejutkan. Aku berharap aku segera terbangun dari mimpi yang aneh ini karena
kepalaku sudah mulai pusing.”
“Oh ayolah,
kau harus percaya padaku. Aku sudah berjanji untuk tidak berbohong, dan ini
pertama kalinya aku menceritakan pada manusia biasa sepertimu.”
“Bagaimanapun
juga kenyataan ini terlalu mencengangkan bagiku. Kurasa hanya ada satu cara
untuk meyakinkanku.” Segera kuambil buku coretan yang selama ini kuisi dengan
hal-hal yang berkaitan dengan bunyi lonceng menara air misterius itu.
“Baiklah,
ceritakan apa maksud dari bunyi lonceng air itu, dan bagaimana bisa terjadi?”
Gadis itu,
siapa namanya tadi, ah Kathrina. Dia sedang mengamati buku coretanku dengan
seksama. Dahinya berkerut dan matanya tajam mebaca semua coretanku dengan cepat.
Tanpa siap kuantisipasi dia tertawa, entah kenapa.
“Ada apa?
Apanya yang lucu?” merasa tersinggung karena dia menertawakan tulisanku yang
jelek aku berusaha merebut buku itu darinya.
“Tidak..
tidak.. Tunggu. Jangan salah paham, aku sama sekali tidak menertawakan
tulisanmu.”
“Bagaimana kau
bisa tahu apa yang kupikirkan? Apa kau bisa membaca pikiran? Atau telepati?
Dengar ya, mendengarkan pikiran orang lain tanpa ijin merupakan salah satu
perbuatan kriminal.”
“Apa yang kau
katakan? Memangnya aku ini apa hingga bisa membaca pikiranmu? Sudah jelas aku
tahu apa yang ada di pikiranmu karena ekspresimu mudah sekali dibaca, seperti
membaca buku bergambar tahu tidak?”
Dengan agak
jengkel kuberikan kembali bukuku padanya.
“Sekarang
ceritakan! Aku tidak akan menyela satu kalimatpun. Ceritakan semuanya, apa
maksud bunyi lonceng itu, dan bagaimana kau bisa berakhir disini bersamaku! Aku
benar-benar akan mendengarkan dan tidak akan mengganggumu sedikitpun.”
“Baiklah, dengarkan
baik-baik ceritaku karena aku tidak akan mengulanginya. Saat aku melihat bukumu
ini aku merasa kau benar-benar pintar, dan juga peka atau keras kepala
sebenarnya, huh? Tidak banyak orang yang mempedulikan bunyi lonceng itu meski
mereka mendengarnya setiap hari. Demi menahan kecurigaan orang-orang desa,
nenek moyang kami menyebarkan gosip mengenai arwah prajurit nenek moyang kalian
dan semua penduduk desa pun mempercayainya. Tapi ternyata ada satu disini yang
tidak. Entah karena terlalu keras kepala atau karena tidak punya kerjaan lain.”
Kathrina pun tertawa. Meskipun aku agak jengkel tapi bagaimanapun apa yang
dikatakannya memang benar.
“Tidak seperti
dirimu yang punya kalender untuk menandai hari, kami memakai lonceng untuk
menandai bulan-bulan dan hari. Tiga bunyi lonceng menandakan pergantian bulan,
jumlah bunyi lonceng di hari kedua yang menetukan apakah itu bulan genap atau
ganjil. Aku sempat belajar mengenai bulan-bulan yang ada di kalender kalian.
Kami tidak menamainya seperti itu, kami hanya mengenal adanya dua bulan, bulan
genap dan ganjil. Dan ada orang khusus yang bertugas untuk membunyikannya.
Seperti yang kaulihat tadi, aku bisa bergerak dengan cepat karena aku berlatih
ilmu bela diri khusus. Ini yang menyebabkan tidak ada yang pernah melihat orang
yang membunyikan lonceng itu.”
Aku mencoba mencerna apa yang dikatakannya dengan cepat, tetapi otakku sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Tentu mungkin saja ada orang yang sengaja membunyikan lonceng untuk menandakan pergantian hari dan bulan, namun mengapa tidak pernah ada orang di desaku yang melihatnya? Meskipun mereka punya keahlian untuk bergerak sangat cepat, bukankah ini tidak adil bahwa mereka telah membohongi kami selama ini? Tidak, bukan hanya kami bahkan nenek moyang kami pun dibohongi?
"Baiklah, jika memang yang kau katakan itu benar, lalu mengapa aku bisa melihatmu sekarang? Maksudku, bukankah tidak ada orang-orang sepertiku yang bertemu dengan orang-orang sepertimu sebelumnya?"
"Emm, kurasa tidak juga. Ada beberapa orang yang bisa melihat kerajaan kami meskipun kami sudah melindunginya dengan mantra pelindung. Kau mungkin tidak mengenal mereka, tapi biasanya mereka bisa mengenaliku jika kami berpapasan. Orang-orang seperti mereka memang hebat, entah kekuatan apa yang mereka miliki."
"Jadi, maksudmu orang biasa seperti aku pun bisa melihatmu begitu saja? Tanpa ada ritual-ritual khusus yang harus dilakukan seperti saat kita ingin memanggil arwah atau bertemu dengan orang-orang yang sudah mati?"
"Apa maksudmu? Kau pikir kami makhluk supranatural hingga harus menggunakan cara khusus untuk melihat kami? Itu sama sekali tidak benar. Kami ini juga manusia biasa seperti kalian, hanya saja kami punya beberapa keahlian khusus yang tidak kalian miliki."
"Keahlian khusus? Seperti terbang, menghilang, menyembuhkan penyakit, menumbuhkan pohon, memindahkan gunung, membelah lautan, men... "
"Berhenti, berhenti! Kau pikir kami Tuhan hingga bisa melakukan hal-hal seperti itu? Tentu saja tidak semuanya bisa kami lakukan. Kami adalah perapal mantra. Orang-orang memanggil kami 'the Tricker'."
"Kenapa dipanggil seperti itu? Bukankah itu artinya kalian suka menipu?"
"Yah, bisa jadi, Kami bisa menipu orang dengan mantra kami. Kurasa sebagian besar mantra-mantra kami memang digunakan untuk itu."
"Lalu, bagaimana bisa kalian menghindar dari pandangan orang-orang biasa seperti kami? Apa kalian tidak pernah pergi keluar kerajaan untuk berjalan-jalan? Membosankan sekali kalau begitu."
"Kau tidak pernah pergi ke kerajaanku jadi jangan coba-coba memberikan penilaian tanpa dasar seperti itu. Kami tidak perlu jalan-jalan ke duniamu karena kami punya semuanya di kerajaan kami."
"Benarkah? Mall? Gedung bioskop? Gedung olahraga dan lain-lainnya semuanya ada di tempatmu?"
"Tentu saja. Wilayah kerajaan kami cukup luas asal kau tahu."
"Wah, kalian hebat sekali bisa menyembunyikan tempat seluas itu dengan sangat baik. Bahkan aku tidak pernah mendengar ada cerita mengenai kalian sama sekali."
"Tentu saja, kami punya orang-orang terbaik."
Kathrina pun tersenyum puas melihatku terheran-heran dengan kondisi kerajaannya. Aku masih belum mengerti mengapa mereka harus bersembunyi dari orang-orang sepertiku.
"Mm, boleh aku bertanya sesuatu? Apa kaummu tidak mudah bergaul dengan orang lain? Apa kalian sangat konservatif?"
"Apa yang kau katakan? Tentu saja tidak. Cepat minta maaf!" ucapnya sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku dengan marah.
"Aku kan hanya bertanya. Kalau tidak begitu, kenapa kalian harus bersembunyi dari kami? Memangnya kami bisa menaklukan kerajaan mu jika keahlian kalian memang sehebat itu? Kurasa tidak akan pernah bisa meskipun kami punya senjata canggih."
"Yah, meskipun kau belum pernah dengar karena tidak tertulis di buku sejarahmu, tapi kami juga punya sejarah sendiri dengan kaummu. Kalian mungkin tidak bisa mengalahkan kami, tapi kalian punya pikiran kejam untuk bisa menaklukan orang lain bagaimanapun caranya. Yang jelas, kami tidak percaya lagi dengan orang-orang sepertimu."
"Kenapa kau berbicara seolah-olah kaumku begitu rendah dimatamu? Dengar ya, meskipun banyak orang jahat di bumi ini, tapi kau tidak perlu khawatir karena orang yang baik lebih banyak dari mereka. Kau harusnya tidak memandang orang dengan sembarangan meskipun kau adalah seorang putri. Minta maaf!" balasku menirukan caranya untuk membuatku minta maaf tadi.
"Aku tidak pernah minta maaf. Well, kurasa memang tidak akan ada habisnya jika kita berdebat lebih baik kita membicarakan hal lain saja."
Dia pun melirik keluar jendela lagi, dan lagi sebagaimana yang dilakukannya selama kami bercakap-cakap sejak tadi.
"Apa ada yang mengganggumu? Kenapa dari tadi terus melihat keluar? Apa ada orang yang mau menyakitimu?"
"Kau tidak perlu tau."
"Enak saja! Kau sekarang berada di kamarku, dan tentu saja akan jadi urusanku jika kau dikejar seseorang. Mungkin aku bisa membantumu jadi katakan saja padaku siapa yang mengejarmu."
"Kau tidak akan bisa. Kau dengar bunyi lonceng tadi? Loncengnya berbunyi 9 kali, itu artinya kerajaanku sedang diserang. Kami dalam keadaan keamanan yang kurang baik saat ini, jadi aku serta anggota kerajaan yang lain harus keluar dari kerajaan untuk bersembunyi sementara rakyatku dan prajurit kerajaanku akan berjuang untuk mengalahkan mereka. Aku hanya berjaga-jaga barangkali ada yang mengikutiku."
"Kenapa ada yang menyerang kerajaanmu? Bukannya tidak ada yang tau keberadaan kerajaanmu itu?"
"Sudahlah, kau tidak perlu tau. Itu akan membahayakan dirimu sendiri. Mengetahui keadaanku cukup sampai disini saja, mengerti!"
"Kenapa kau sangat suka memerintah? Memangnya seorang putri harus selalu sekaku ini? Huh, menyebalkan."
"Kurasa aku harus pergi sekarang. Kakakku bilang sekarang sudah aman. Bagaimanapun juga terima kasih karena sudah mengijinkanku tinggal. Kau harus selalu ingat untuk tidak membicarakan malam ini dengan siapapun, mengerti! Sampai jumpa.."
Tiba-tiba jendela kamarku terbuka lebar, dan sesaat setelah berkedip kamarku terlihat seperti sebelumnya. Hangat dengan jendela yang tertutup erat. Tanpa siapapun kecuali diriku sendiri. Apa aku baru saja bermimpi? Kenapa kepalaku pusing sekali? Haahh, aku ingin tidur.
Aku mencoba mencerna apa yang dikatakannya dengan cepat, tetapi otakku sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Tentu mungkin saja ada orang yang sengaja membunyikan lonceng untuk menandakan pergantian hari dan bulan, namun mengapa tidak pernah ada orang di desaku yang melihatnya? Meskipun mereka punya keahlian untuk bergerak sangat cepat, bukankah ini tidak adil bahwa mereka telah membohongi kami selama ini? Tidak, bukan hanya kami bahkan nenek moyang kami pun dibohongi?
"Baiklah, jika memang yang kau katakan itu benar, lalu mengapa aku bisa melihatmu sekarang? Maksudku, bukankah tidak ada orang-orang sepertiku yang bertemu dengan orang-orang sepertimu sebelumnya?"
"Emm, kurasa tidak juga. Ada beberapa orang yang bisa melihat kerajaan kami meskipun kami sudah melindunginya dengan mantra pelindung. Kau mungkin tidak mengenal mereka, tapi biasanya mereka bisa mengenaliku jika kami berpapasan. Orang-orang seperti mereka memang hebat, entah kekuatan apa yang mereka miliki."
"Jadi, maksudmu orang biasa seperti aku pun bisa melihatmu begitu saja? Tanpa ada ritual-ritual khusus yang harus dilakukan seperti saat kita ingin memanggil arwah atau bertemu dengan orang-orang yang sudah mati?"
"Apa maksudmu? Kau pikir kami makhluk supranatural hingga harus menggunakan cara khusus untuk melihat kami? Itu sama sekali tidak benar. Kami ini juga manusia biasa seperti kalian, hanya saja kami punya beberapa keahlian khusus yang tidak kalian miliki."
"Keahlian khusus? Seperti terbang, menghilang, menyembuhkan penyakit, menumbuhkan pohon, memindahkan gunung, membelah lautan, men... "
"Berhenti, berhenti! Kau pikir kami Tuhan hingga bisa melakukan hal-hal seperti itu? Tentu saja tidak semuanya bisa kami lakukan. Kami adalah perapal mantra. Orang-orang memanggil kami 'the Tricker'."
"Kenapa dipanggil seperti itu? Bukankah itu artinya kalian suka menipu?"
"Yah, bisa jadi, Kami bisa menipu orang dengan mantra kami. Kurasa sebagian besar mantra-mantra kami memang digunakan untuk itu."
"Lalu, bagaimana bisa kalian menghindar dari pandangan orang-orang biasa seperti kami? Apa kalian tidak pernah pergi keluar kerajaan untuk berjalan-jalan? Membosankan sekali kalau begitu."
"Kau tidak pernah pergi ke kerajaanku jadi jangan coba-coba memberikan penilaian tanpa dasar seperti itu. Kami tidak perlu jalan-jalan ke duniamu karena kami punya semuanya di kerajaan kami."
"Benarkah? Mall? Gedung bioskop? Gedung olahraga dan lain-lainnya semuanya ada di tempatmu?"
"Tentu saja. Wilayah kerajaan kami cukup luas asal kau tahu."
"Wah, kalian hebat sekali bisa menyembunyikan tempat seluas itu dengan sangat baik. Bahkan aku tidak pernah mendengar ada cerita mengenai kalian sama sekali."
"Tentu saja, kami punya orang-orang terbaik."
Kathrina pun tersenyum puas melihatku terheran-heran dengan kondisi kerajaannya. Aku masih belum mengerti mengapa mereka harus bersembunyi dari orang-orang sepertiku.
"Mm, boleh aku bertanya sesuatu? Apa kaummu tidak mudah bergaul dengan orang lain? Apa kalian sangat konservatif?"
"Apa yang kau katakan? Tentu saja tidak. Cepat minta maaf!" ucapnya sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku dengan marah.
"Aku kan hanya bertanya. Kalau tidak begitu, kenapa kalian harus bersembunyi dari kami? Memangnya kami bisa menaklukan kerajaan mu jika keahlian kalian memang sehebat itu? Kurasa tidak akan pernah bisa meskipun kami punya senjata canggih."
"Yah, meskipun kau belum pernah dengar karena tidak tertulis di buku sejarahmu, tapi kami juga punya sejarah sendiri dengan kaummu. Kalian mungkin tidak bisa mengalahkan kami, tapi kalian punya pikiran kejam untuk bisa menaklukan orang lain bagaimanapun caranya. Yang jelas, kami tidak percaya lagi dengan orang-orang sepertimu."
"Kenapa kau berbicara seolah-olah kaumku begitu rendah dimatamu? Dengar ya, meskipun banyak orang jahat di bumi ini, tapi kau tidak perlu khawatir karena orang yang baik lebih banyak dari mereka. Kau harusnya tidak memandang orang dengan sembarangan meskipun kau adalah seorang putri. Minta maaf!" balasku menirukan caranya untuk membuatku minta maaf tadi.
"Aku tidak pernah minta maaf. Well, kurasa memang tidak akan ada habisnya jika kita berdebat lebih baik kita membicarakan hal lain saja."
Dia pun melirik keluar jendela lagi, dan lagi sebagaimana yang dilakukannya selama kami bercakap-cakap sejak tadi.
"Apa ada yang mengganggumu? Kenapa dari tadi terus melihat keluar? Apa ada orang yang mau menyakitimu?"
"Kau tidak perlu tau."
"Enak saja! Kau sekarang berada di kamarku, dan tentu saja akan jadi urusanku jika kau dikejar seseorang. Mungkin aku bisa membantumu jadi katakan saja padaku siapa yang mengejarmu."
"Kau tidak akan bisa. Kau dengar bunyi lonceng tadi? Loncengnya berbunyi 9 kali, itu artinya kerajaanku sedang diserang. Kami dalam keadaan keamanan yang kurang baik saat ini, jadi aku serta anggota kerajaan yang lain harus keluar dari kerajaan untuk bersembunyi sementara rakyatku dan prajurit kerajaanku akan berjuang untuk mengalahkan mereka. Aku hanya berjaga-jaga barangkali ada yang mengikutiku."
"Kenapa ada yang menyerang kerajaanmu? Bukannya tidak ada yang tau keberadaan kerajaanmu itu?"
"Sudahlah, kau tidak perlu tau. Itu akan membahayakan dirimu sendiri. Mengetahui keadaanku cukup sampai disini saja, mengerti!"
"Kenapa kau sangat suka memerintah? Memangnya seorang putri harus selalu sekaku ini? Huh, menyebalkan."
"Kurasa aku harus pergi sekarang. Kakakku bilang sekarang sudah aman. Bagaimanapun juga terima kasih karena sudah mengijinkanku tinggal. Kau harus selalu ingat untuk tidak membicarakan malam ini dengan siapapun, mengerti! Sampai jumpa.."
Tiba-tiba jendela kamarku terbuka lebar, dan sesaat setelah berkedip kamarku terlihat seperti sebelumnya. Hangat dengan jendela yang tertutup erat. Tanpa siapapun kecuali diriku sendiri. Apa aku baru saja bermimpi? Kenapa kepalaku pusing sekali? Haahh, aku ingin tidur.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus