The Kingdom Out of Nowhere (Chapter II)
9 years later..
Ahhhh, lega
sekali bisa ada disini lagi. Kurasa terlalu lama tinggal di kota membuat
kulitku jadi kusam karena polusi. Sama seperti 9 tahun yang lalu, desa ini
tidak terlalu banyak mengalami perubahan sebagaimana dulu saat aku masih
tinggal disini. Masih sangat jelas di ingatanku bagaimana rasanya hidup disini,
masa-masa yang indah dan penuh kenangan. Sembilan tahun memang waktu yang lama,
namun sepertinya tidak ada perubahan signifikan yang terjadi disini. Tetap
tenang, damai dan yang paling penting bagiku adalah udaranya yang menyegarkan.
Agak sedikit konyol bukan, ketika kau bisa kembali ke tempat dimana kau lahir
dan dibesarkan namun yang kau rindukan hanya sebatas udaranya yang segar.
Entahlah, aku hanya terlalu suka udara disini.
Hari ini
adalah hari peringatan kematian ibuku. Lima tahun yang lalu, meskipun ibuku
meninggal di Manhattan, tetapi ayah bersikeras untuk memakamkannya di desa ini.
Yah, kurasa banyak kenangan indah antara mereka berdua disini yang tidak bisa
dilupakan begitu saja oleh ayahku.
“Ayah, ayo
pulang. Kalau tidak segera pulang kita bisa terlambat makan malam di rumah
paman Harry.”
“Ya, benar
sekali. Kau tau persis bagaimana istrinya itu akan marah-marah seperti kuda liar
jika kita terlambat.”
Aku tersenyum
mendengar gurauannya. Kami berdua bergegas meninggalkan pemakaman setelah
mengucap salam perpisahan kepada ibu. Kali ini aku yang mengemudikan mobilnya,
karena ayah sudah terlalu letih. Ayah segera keluar dari mobil dan bergegas
mengambil barang-barang kami di bagasi sesaat setelah aku mematikan mesin mobil
di depan rumah paman. Saat aku keluar, ayah sudah berdiri dengan 1 koper besar
dan 2 tas di tangannya.
“Biar kubawa
satu.”
“Tidak perlu,
didalam masih ada 2 tas. Bawa saja itu. Ini semua gara-gara kau. Mau pindah ke
desa saja seperti mau pindah ke hutan belantara. Kenapa membawa tenda dan
perlengkapan-perlengkapan tidak penting seperti itu.” Omelnya sambil berlalu
menuju pintu masuk ke rumah paman. Kenapa pura-pura tidak tau, sudah jelas aku
membawa ini karena aku tau dia sangat suka memancing. Aku tersenyum melihat
punggungnya yang membelakangiku menuju ke beranda rumah paman.
Kuambil 2 tas
yang tersisa di bagasi mobil dan segera menutupnya. Kulangkahkan kaki menuju
rumah paman. Saat berada di dekat tangga yang menuju ke beranda rumah paman,
bulu kudukku seketika berdiri. Rasanya seperti ada seseorang yang berdiri di
belakangku. Kutolehkan kepalaku segera ke belakang, namun tidak ada
siapa-siapa. Tanpa berpikir dua kali segera aku berjalan masuk menuju pintu
rumah paman yang terbuka lebar. Sial, jangan ganggu aku disini.
Di dalam rumah
paman terasa hangat dan menyenangkan. Paman Harry dan bibi Michelle menyambut
kami dengan penuh antusias, bahkan bisa dibilang terlalu berlebihan. Kedua anak
mereka pun tidak berhenti berkomentar melihat kelakuan kedua orang tua mereka.
“Waahhh, belum
pernah ibu memasak sebanyak ini sebelumnya. Semuanya kelihatan lezat. Wah, kak
Clara dan paman harus sering-sering kesini.” Ucap si bungsu James.
“Kau ini
benar-benar tidak sopan James. Bicara yang baik pada paman dan kakakmu.” Omel
ibunya.
“Itu benar
ibu. Apa yang dikatakan James tidak salah. Karena Paman Frank dan kak Clara
akan tinggal disini, itu berarti makanan kita setiap hari akan seperti ini
bukan? Bagus sekali. Aku tidak akan pernah melewatkan makan malam bersama mulai
sekarang.” jawab kakak James, Michael.
“Kalian berdua
ini benar-benar ya! Selalu saja berbicara sembarangan. Awas kalau kalian bicara
sembarangan lagi, ayah akan memotong uang saku kalian selama seminggu.”
“Apa?” ucap
mereka bersamaan.
“Tidak mau,
ini semua salah James. Dia yang memulai.”
“Hei, kau itu
kakakku atau bukan sih? Kenapa tidak membela ku? Dasar!”
“Kalau masalah
uang tidak ada yang namanya saudara tau.”
“Dasar mata
duitan.”
Tiba-tiba
ayahku tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat kemudian paman Harry juga tertawa
terbahak-bahak. Sekarang di meja makan ada 4 orang kebingungan dengan ekspresi
yang sama menatap dua laki-laki dewasa yang tertawa terbahak-bahak seperti
anak-anak, ‘apa mereka baik-baik saja?’.
“Ayah,
berhenti tertawa. Nanti ayah bisa tersedak. Memangnya apanya yang lucu?”
“Ahaa,,ahhaaa..
Ahhh, sudah lama aku tidak tertawa seperti ini. Kau tau, dulu aku dan pamanmu
juga selalu bertengkar di meja makan baik saat sarapan, makan siang, maupun
malam. Kurasa pertengkaran 2 keponakanmu itu membuatku teringat pada masa
lalu.”
“Itu benar
sekali. Bahkan percakapannya pun hampir sama seperti saat kita bertengkar dulu.
Ya Tuhan, aku masih mengingatnya sampai sekarang.”
Begitulah
makan malam pertama kami di rumah baru yang akan kami tempati. Rumah ini adalah
rumah ayahku dulu, tapi sekarang Paman Harry sudah membelinya. Paman Harry
bersikeras untuk membayar rumah ini meskipun ayahku bersikeras tidak mau
menerimanya. Setelah kupikir-pikir mereka berdua memang mirip dengan James dan
Michael.
Hari ini
sangat melelahkan. Aku ingin segera tidur dan memulai aktivitasku besok. Benar
sekali, besok adalah hari pertamaku bekerja membantu di satu-satunya klinik kesehatan
di desa ini. Aku benar-benar harus beristirahat. Sesaat kupejamkan mataku,
namun aku tidak bisa tidur. Terlintas kembali kejadian di depan rumah paman
tadi. Kenapa mereka mengangguku lagi? Bukankah sudah sangat jelas jawaban yang
kuberikan pada mereka dulu. Kuhela nafas dalam-dalam, menerawang ke atas atap
kamar yang kutempati saat ini.
Saat akhirnya
mataku terasa berat dan mulai terpejam, terdengar suara lonceng di kejauhan.
Suara lonceng yang sangat kukenal. Suara lonceng yang membuat hidupku berubah
seperti sekarang ini. Tapi aku tidak peduli lagi, setidaknya sekarang. Aku
hanya ingin tidur.
Keesokan
harinya, aku mulai bekerja di klinik. Sebagai dokter di tahun pertama
kelulusanku aku sudah mulai magang di salah satu rumah sakit besar di
Manhattan, jadi kurasa tidak masalah jika sekarang aku harus bekerja di klinik.
Semoga saja pasien yang datang hari ini bisa kuatasi dengan baik. Kurasa aku
harus memperkenalkan diriku lagi kepada semua orang di klinik ini.
“Hai, aku
Clara. Aku dokter umum yang dipindahkan
dari rumah sakit Clington Medical Centre di Manhattan. Senang bertemu dengan
kalian semua dan mohon bantuannya selama aku bekerja disini.”
“Halo, Clara.
Aku Mary. Aku perawat disini. Senang bertemu denganmu juga. Hari ini aku akan
menunjukkan klinik padamu. Pertama-tama akan kuceritakan dokter dan petugas
yang ada disini serta bagian-bagian klinik. Kurasa tidak terlalu banyak yang
harus diingat.”
“Tentu saja.
Terimakasih, Mary.”
Kami
berkeliling klinik sambil mendengarkan Mary bercerita mengenai segala hal yang
berkaitan dengan klinik. Dia memang benar, tidak banyak yang harus dihafalkan.
Dokter yang bekerja disini hanya ada 6, 2 dokter umum termasuk aku, 2 dokter
anak, dan 2 dokter kandungan. Ruangannya pun cukup sedikit jika dibandingkan
dengan rumah sakit umum mengingat kita hanya memberikan pertolongan pertama dan
pengobatan penyakit-penyakit sederhana saja disini. Bagaimanapun, aku bersyukur
karena dipindahkan disini, ditempat dimana aku bisa bekerja dengan tenang tanpa
harus mengkhawatirkan datangnya gangguan-gangguan dari luar.
“Ini adalah
ruanganmu dokter Clara. Silahkan masuk, dan kami akan segera mengirimkan
asistenmu kemari.”
“Oh, great.
Terimakasih atas tur singkatnya, Mary. Kau sangat membantu.”
“Sama-sama
dokter.”
Aku segera
masuk ke ruanganku. Ini adalah tahun pertama aku bekerja menangani pasien
secara langsung setelah 2 tahun magang. Kuharap semua berjalan lancar. Tidak
lama kemudian datang seorang perawat muda yang akan membantu diruanganku.
Namanya Lenna. Perawat muda yang cantik dan sopan. Kurasa umurnya sama
denganku.
Pasien
pertamaku hari ini adalah Mrs. Smith yang secara tidak langsung adalah
tetanggaku karena sekarang aku tinggal di rumah Paman yang bersebelahan dengan
rumahnya. Kurasa aku harus mulai terbiasa menangani pasien yang sudah kukenal
sejak kecil disini. Dan rasanya lumayan memuaskan. Aku bisa berbicara mengenai
penyakit mereka dengan lebih akrab dan leih dekat dengan mereka tentu saja. Hal
yang akan sangat sulit dilakukan di tempatku dulu, dimana aku mungkin hanya
akan bertemu dengan pasienku sekali seumur hidup.
Setelah
menangani 12 pasien hari ini, akhirnya waktu kerjaku habis. Sore ini akan
dilanjutkan oleh dokter umum satunya. Ya, kami bekerja bergantian agar selalu
ada dokter yang berjaga jika ada pasien yang sewaktu-waktu datang.
Saat menuju ke
tempat parkir, aku bertemu Mr. Johnson dan istrinya. Kusapa mereka berdua dengan
senyuman manis. Aku tidak menyangka mereka akan benar-benar menikah. Padahal
dulu mereka berdua sangat suka beradu argumen. Bahkan saat mengajar di kelaspun
mereka tidak bisa akur.
“Halo pak
Johnson. Apa kabar? Bu Sterling juga apa kabar?”
“Oh hai Clara.
Kabar kami baik, well sangat baik sepertinya. Kudengar kau baru pindah dari
kota. Bagaimana kabarmu?”
“Ya saya
merasa sangat senang bisa kembali kesini. Oh ya, apa kalian baru saja
memeriksakan kandungan?”
“Begitulah.
Bisa kau lihat sendiri sekarang aku sedang mengandung. Ini semua salah orang
ini karena terus memaksaku memberikan banyak anak untuknya.”
“Ahahaa, yang
benar saja. Bukannya kau yang selalu meminta untuk punya anak lagi sweetheart.”
“Hmm, kalian
kelihatan mesra sekali bersama-sama. Aku turut senang dengan hadirnya bayi ini.
Semoga dia menjadi bayi yang sehat dan proses persalinannya lancar.”
“Oh,
terimakasih Clara kau baik sekali. Well, kurasa suamiku dan aku harus segera
pulang, anak-anak kami sedang menunggu di rumah dengan neneknya.”
“Tentu saja,
Bu Sterling. Senang bertemu anda berdua lagi.”
“Kami juga
Clara. Sampai jumpa.”
Sebelum pulang
ke rumah, ku sempatkan untuk mampir di The
Eighties, satu-satunya market terlengkap yang bisa kutemukan disini.
Mungkin akan lebih baik jika aku membelikan bibi beberapa pelengkap makanan di
dapurnya mengingat dia mungkin menghabiskannya untuk memasakkanku dan ayah
kemarin malam. Kuambil kereta dorong dan mulai memilih barang-barang yang harus
kubeli. Tidak banyak orang yang ada didalam saat aku masuk, mungkin hanya
sekitar 7 orang yang berbelanja dan 3 petugas market. Semua tempat yang
kukunjungi di desa ini benar-benar tenang dan damai, kecuali klinik tentu saja.
Kulihat
sekelebat orang berjalan menggunakan jaket hitam dan celana jeans hitam serta
sepatu boots pendek di dekatku. Sepertinya dia sedang terburu-buru karena dia
berjalan sangat cepat. Setelah memasukkan semua barang-barang yang akan kubeli
ke kereta, aku menghampiri kasir untuk segera membayar. Aku berdiri di belakang
si lelaki berjaket hitam itu menunggu giliran untuk membayar. Pria itu lebih
tinggi dariku, mungkin tingginya 185 cm. Badannya terlihat kuat dan tegap. Dan
pakaiannya kelihatan bagus. Jarang sekali aku melihat orang didesa ini yang
berjalan-jalan dengan menggunakan pakaian seperti itu. Kurasa dia mungkin
berasal dari kota. Setelah dia selesai aku pun segera membayar barang
belanjaanku.
Saat keluar,
aku melihat si lelaki berjaket hitam tadi berdiri di dekat mobilnya. Sudah
kuduga dia berasal dari kota. Mobilnya bagus sekali, kurasa itu keluaran
terbaru dari salah satu merk mobil ternama. Di sampingnya berdiri seorang
perempuan yang bergelayut manja di tangannya. Ya Tuhan, kasihan sekali wanita
itu. Kelihatan sekali dari tingkah lakunya bahwa si lelaki tidak tertarik
padanya sama sekali. Sesaat kusadar, kenapa aku harus memperhatikan mereka, aku
benar-benar kurang kerjaan. Kurasa tinggal di desa membuatku menjadi pengamat
yang baik, pikirku sambil tersenyum.
Aku segera
menuju mobil yang terparkir di sisi kanan market. Setelah semua belanjaanku
masuk, akupun mengemudikan mobil keluar parkir. Sekilas kulihat sekarang ada
dua mobil yang terparkir di depan market, mobil lelaki itu dan mobil temannya
mungkin dilihat dari penampakannya yang tidak kalah mewah dari mobil yang
pertama. Kulihat melalui spion seorang wanita muda keluar dari mobil, saat
itulah jantungku berhenti berdegup. Kupejamkan mata dan kuatur nafasku
perlahan, kulajukan mobilku lebih cepat dari siapapun yang ada di jalan saat
itu. Aku ingin segera sampai di rumah.
Sesampainya di
rumah aku merasa tenang. Segera aku masuk kedalam rumah paman dan pergi ke
kamar setelah meletakkan barang belanjaanku di dapur. Aku merasa lega sekaligus
merasa bersalah. Kenapa lari Clara? Kenapa lari darinya? Kau ini benar-benar
tidak berubah.
Minggu
pertamaku di desa ini berjalan cukup baik. Pekerjaanku di klinik lumayan
menyita waktu hingga aku tak perlu repot-repot mencari kegiatan untuk mengisi
waktu luangku disini. Setiap pagi jam 8 aku pergi ke klinik dan pulang saat
matahari sudah tenggelam. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain bermain
dengan keponakanku, membantu bibi, ayah atau paman, dan mengunjungi tetangga
lama. Aku ingin menyelesaikan kunjungan ke teman-teman sekolahku dulu minggu
ini agar ayah tidak mengomeliku terus-terusan memintaku untuk gencar
bersosialisasi. Memangnya aku dulu tidak pernah tinggal disini? Tenang saja
ayah, aku sudah sangat mengenal mayoritas orang-orang yang ada disini, tinggal
berkenalan dengan para pendatang saja.
Malam itu
setelah mandi dan mengganti pakaian kerjaku, aku memutuskan untuk mengunjungi
salah seorang teman kecilku dulu yang bisa dibilang cukup dekat denganku. Entah
kenapa dia tidak segera mendatangiku saat aku pindah padahal aku yakin berita
kedatanganku pasti sudah tersebar di desa ini. Ini agak sedikit aneh. Semoga
dia tidak marah padaku mengingat dulu aku pergi terlalu tergesa-gesa hingga
hanya sempat mengucapkan salam perpisahan singkat. Kuambil jaket hitamku dari
lemari dan segera mengenakannya untuk melindungi tubuhku yang hanya dilapisi
kaus abu-abu besar. Kulihat tampilanku di cermin, cukup memuaskan. Kaus abu-abu
putih dengan jins dan jaket hitam terlihat kasual tapi cukup sopan. Kusambar
tas kecilku yang berada di dekat meja kerja lalu segera turun.
“Bibi, aku
akan pergi ke rumah Cassie. Kurasa aku harus menyapanya dulu.”
“Oh tentu saja
sayang. Pergilah, dan hati-hati. Aku akan mengatakannya pada paman dan ayahmu
nanti.”
“Terima kasih
bibi. Aku pergi.”
Akupun segera
berjalan menuju rumah Cassie. Rumah Cassie tidak terlalu jauh dari rumah paman,
hanya terpisah beberapa blok saja. Semoga saja dia ada di rumah, jika tidak maka
kedatanganku akan sia-sia. Saat aku berjalan, aku berpapasan dengan beberapa
tetangga. Mereka tetap ramah seperti dulu, tidak seperti tetanggaku saat di
Manhattan dulu yang bahkan jarang bertatap muka denganku. Seminggu mungkin
hanya sekali aku bertemu mereka saat weekend. Beberapa dari tetangga yang
kujumpai malah menawarkanku untuk pergi bersama mereka. Tapi aku menolak
semuanya dengan halus, aku ingin berjalan-jalan sendiri hari ini.
18 menit
kemudian aku sampai di depan rumah Cassie. Bentuk rumahnya masih sama seperti
dulu, tapi warna catnya kini berbeda. Ditambah lagi halaman rumahnya yang dulu
hanya ditumbuhi rumput kini sudah ditanami berbagai macam pohon. Menarik sekali
mengingat orang tua Cassie sama sekali tidak suka direpotkan dengan urusan
tanam-menanam seperti itu. Kutekan bel pintu rumahnya sambil menajamkan
pendengaranku untuk mengamati suara yang ada di dalam rumah. Sekali lagi
kutekan belnya sambil mencoba melihat kedalam melalui jendela di dekat pintu. Tak
lama kemudian pintu mulai terbuka. Seorang wanita paruh baya yang membukakan
pintu mengamati wajahku dengan serius.
“Ada yang bisa
saya bantu.”
“Oh, tentu Mrs.
Philips. Ini aku Clara, teman sekolah Cassie dulu. Apa anda ingat aku?”
“Oh Clara,
anak Frank dan Emma? Oh tentu saja sayang aku ingat padamu. Masuklah, di luar dingin
bukan?”
“Terimakasih
Mrs. Philips.”
Aku pun
dipersilakan masuk menuju ruang tamu rumah ini. Ruang tamu yang berkali-kali
kumasuki dengan Cassie, baik dalam keadaan berlari, berjalan, duduk, menari,
bahkan menangis. Rasa rinduku pada Cassie semakin bertambah. Mungkin jika aku
kesini lebih cepat akan lebih baik.
“Duduklah
sayang, aku akan mengambilkan minum untukmu. Apa yang ingin kau minum?”
“Tidak usah
repot-repot Mrs. Philips, kurasa air saja sudah cukup, terimakasih.”
“Sama sekali tidak
repot sayag. Tunggu sebentar.”
Aku menunggu
di ruang tamu dengan wajah penuh harap. Kenapa rumah tampak sepi, apa Cassie
tidak ada di rumah? Dimana adik-adiknya? Kurasa mereka sudah besar sekarang.
Kupandang foto-foto yang berderet di dinding dengan antusias. Cassie tidak
berubah sama sekali, selalu tampak dewasa dan riang. Dulu setiap kali kami
berjalan-jalan ke suatu tempat, orang-orang pasti mengira aku adik Cassie
karena aku sangat manja padanya, dan Cassie selalu kelihatan menjagaku dengan
baik. Aku merasa bersalah tidak pernah menelponnya selama ini.
“Ini sayang,
minumlah.”
“Terimakasih,
Mrs. Philips.”
“Bagaimana
keadaanmu dan ayahmu? Aku turut berduka dengan kematian ibumu, sayang.”
“Oh,
terimakasih Mrs. Philips. Kami baik-baik saja sekarang. Kami akan memulai
kehidupan kami lagi disini dengan lebih baik.”
“Ya, kurasa
kau tidak bisa pergi jauh dari sini bukan?”
“Benar sekali.
Mm, rumah kelihatan sepi? Apa tidak ada orang lain selain anda disini?”
“Ya, kau
benar. Malam ini hanya ada aku disini, suamiku belum kembali dari peternakan jadi
kau tidak bertemu siapa-siapa. Sayang sekali bukan?”
“Tidak apa-apa
Mrs. Philips. Saya cukup senang bisa bertemu dengan anda lagi. Tapi, bagaimana
dengan Cassie? Annabelle dan Mia juga?”
“Oh, maaf
sayang. Aku terlalu senang bisa melihatmu lagi sampai-sampai aku lupa menyampaikan
hal yang paling penting. Annabelle sedang berkuliah sekarang di Manhattan, dia
tinggal bersama Mia disana. Mereka bekerja dan melanjutkan sekolah mereka
disana. Mereka baru saja pindah jadi aku tidak sempat meminta mereka
mengunjungimu disana, tapi ternyata sekarang kau kembali kesini.”
“Wow, aku lupa
mereka sekarang pasti sudah besar Mrs. Philips. Menyenangkan sekali jika bisa
bertemu mereka lagi, mereka sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Pasti
menyenangkan sekali punya adik seperti mereka.”
“Kurasa hanya
kau yang beranggapan seperti itu sayang. Ccassie sudah cukup pusing mengurusi
adik-adiknya, dan sekarang dia bisa bernapas lega karena mereka sudah bisa
hidup mandiri.”
“Lalu, dimana
Cassie sekarang Mrs. Philips?”
“Oh, aku
benar-benar pelupa. Baru saja akan kuceritakan padamu sayang. Maafkan aku
karena umurku sudah terlalu tua untuk bisa mengingat hal penting. Cassie
sekarang tidak tinggal disini lagi sayang, dia tinggal dengan suaminya, Matt.”
“Maaf, siapa?
Matt? Apakah yang anda maksud adalah Matthew Parkinson?”
“Iya sayang
benar sekali. Kalian satu sekolah juga kan dulu. Ini benar-benar takdir kurasa.
Aku lega karena Cassie mendapatkan pendamping hidup yang setia dan bertanggungjawab
seperti Matt. Kau tau alamat rumah Matt bukan? Mereka tinggal disana sekarang.
Ayah dan ibu Matt sudah meninggal jadi tidak ada yang mengurusi rumah itu,
sehingga mau tidak mau Cassie harus kurelakan untuk pindah dengan Matt.”
“Wow. Tapi,
kenapa tidak ada yang memberi tahuku Mrs. Philips? Bahkan bibi Michelle pun
tidak mengatakan apa-apa padaku. Kapan mereka menikah?”
“Kurasa bibimu
sengaja tidak memberitahukannya untuk mengejutkanmu sayang. Mereka menikah
tahun lalu. Kurasa kau bisa mengunjungi mereka sekarang jika kau ingin.”
“Oh, tentu
saja Mrs. Philips. Rumah mereka tidak terlalu jauh dari sini. Kurasa aku harus
pergi sekarang agar tidak pulang terlalu malam nanti Mrs. Philips.”
“Tentu saja
sayang. Mampirlah lagi jika kau ada waktu.”
“Terimakasih
atas minumannya Mrs. Philips.”
Aku melangkah
meninggalkan rumah Cassie setelah sekali lagi mengucapkan terimakasih pada ibu
Cassie. Aku tersenyum riang, benar-benar riang. Sebenarnya lebih ke senyuman
geli dan tidak percaya. Bagaimana bisa Matt menjadi orang yang setia? Apalagi
bertanggungjawab? Itu sama sekali tidak mungkin. Tentu saja, jika ada yang
pernah satu sekolah dengan si playboy Matthew Parkinson pasti akan berpikiran
seperti itu. Untung saja aku sudah pernah melihat betapa Matt sangat jatuh
cinta pada Cassie, jadi aku tidak akan berpikiran itu tidak mungkin. Jika ia
menikah dengan Cassie, pasti karena dia sangat mencintainya. Kurasa aku harus
memperingatkan Matt untuk tidak main-main dengan sahabatku seperti dulu yang
kulakukan padanya saat mencoba mendekati Cassie.
Sepulu menit
kemudian aku sampai di depan halaman rumah Matt. Kulihat jam ditanganku masih
menunjukkan pukul 8. Kurasa aku masih punya beberapa jam sebelum harus pulang.
Kutenkan bel pintu dengan jantung yang berdegup kencang. Sesaat kemudian pintu
terbuka dan keluarlah seorang pria mengenakan sweater abu-abu dan celana santai
hitam dari balik pintu. Sambil menatapku dia mencoba mengingat-ingat sesuatu.
Aku tersenyum di depannya. Perlahan matanya mulai terbuka semakin lebar,
kemudia dia berseru.
“Clara, kaukah
itu?”
“Sepertinya
kau tidak lupa padaku, Matt. Hai, lama tidak berjumpa.”
“Wow..”
ucapnya sambil terus tersenyum melihatku.
Tiba-tiba
terdengar suara dari dalam rumah.
“Siapa yang
datang honey?”
“Tebak siapa,
sayang. Kemarilah.”
Aku mendengar
langkah kaki menuju kearah kami. Sesaat kemudian kulihat seorang perempuan
dengan rambut pirang tergerai sepanjang bahu menggunakan baju hamil yang
kelihatan manis di tubuhnya. Mata birunya melebar setelah melihatku.
“Hai, Cass.
Apa kabar?”
Aku menunggu
jawaban darinya, tapi jawaban itu tidak kunjung keluar dari mulutnya. Tba-tiba
ia berbalik masuk ke rumah dengan wajah marah. Oh, tidak. Apa yang kutakutkan
telah terjadi. Kurasa aku harus mengeluarkan semua kemampuan merayuku malam ini.
“Oh, maafkan
dia Clara. Kurasa dia agak sensitif akhir-akhir ini. Mungkin karena bayinnya.
Aku akan menjadi ayah kau tau? Ini benar-benar menakjubkan.”
“Ya, kau pasti
merasa senang. Apakah aku pulang saja?”
“Apa? Omong
kosong. Masuklah, aku akan mencoba membujuknya untuk bicara denganmu.”
Aku pun masuk
ke dalam rumah Matt. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini.
Tapi nuansa yang kurasakan tidak jauh berbeda dengan rumah Cassie. Mungkin itu
sebabnya orang bilang bahwa rumah adalah identitas seseorang.
“Cass, honey.
Jangan seperti itu pada Clara. Dia datang jauh-jauh untuk mengunjungimu.
Ayolah, bicaralah sebentar dengannya.”
“Aku tidak
ingat pernah punya teman dengan nama Clara.”
Seperti
ditusuk pisau, begitulah rasanya hatiku saat ini. Kata-katanya membuatku sedih,
karena aku telah menyakitinya begitu dalam. Aku tidak sadar selama ini bahwa
aku membuatnya menunggu kabar dariku begitu lama hingga akhirnya ia menyerah
untuk mendengarnya.
“Oh, honey.
Jangan bicara seperti itu. Ted kita tidak akan suka mendengarnya.”
“Aku
mengatakan kebenaran. Memangnya kenapa aku harus mengingat orang yang
meninggalkanku tanpa kabar selama bertahun-tahun.”
“Maafkan aku
Cass. Aku bersalah karena tidak segera menghubungimu dulu. Aku merasa begitu
bingung saat itu dan tidak tau harus berbuat apa, apalagi untuk menghubungimu,
aku sama sekali tidak bisa.” Ucapku hampir meneteskan air mata.
“Memangnya kita
hidup di zaman apa, honey? Apa menurutmu masuk akal jika seseorang tidak bisa
menghubungi orang lain padahal orang itu sangat hafal nomor telepon orang lain
itu?”
“Mungkin dia
sedang dalam keadaan sulit, Cass. Ayolah, jangan begitu.”
“Maafkan aku.
Aku benar-benar menyesal tidak menelponmu secepatnya saat itu. Kurasa aku hanya
akan membuatmu khawatir jika aku menelpon, jadi aku memutuskan untuk tidak
menelponmu. Itu semua memang salahku. Lebih baik aku pergi sekarang. Tidak baik
jika kau marah-marah seperti itu saat mengandung. Mungkin kita bisa bicara lain
kali. Maaf aku sudah menganggumu malam-malam, dan terima kasih untuk semuanya.”
Aku berbalik
menuju ke pintu depan. Air mata yang kutahan dari tadi mengalir deras di pipiku
sekarang. Ini semua memang salahku. Saat aku akan membuka pintu, kurasakan
sebuah tangan mencengkeram pundakku.
”Kau pikir,
setelah kau datang ke rumahku seenaknya saja apa aku akan membiarkanmu pulang.
Setidaknya izinkan aku membuatkan minuman untukmu dulu sebelum pergi.”
Aku menoleh
mendengar suara Cassie.
“Apa?”
“Kau tidak
dengar ya, aku bilang kau belum boleh pergi.”
Kulihat senyum
menghiasi wajahnya, kemudia air mata turun mengalir di pipinya. Tiba-tiba dia
memelukku dengan erat. Kami pun menangis berdua bersama-sama. Tangisan yang
menguras kantong air mataku. Belum pernah aku menangis sekeras itu kecuali saat
ibuku meninggal.
“Terimakasih.
Dan Maaf.” Kuselipkan kata-kata disela tangisku untuknya.
Dia hanya
mengangguk. Kami terus menangis sampai hampir kira-kira 10 menit sebelum
kurasakan tangan yang kuat memisahkan kami berdua.
“Hei..hei..
Kalian! Kapan akan berhenti menangis? Honey, jangan terlalu lama menangis. Ted
kita bisa sedih.” Ucapnya sambil memeluk dan mengelus perut buncit Cassie.
“Oh ya Tuhan.
Aku benar-benar tidak tahan dengan kalian.” Ucapku sambil tersenyum. Akhirnya
beban yang mengisi hatiku sekarang sedikit terlepas. Satu masalah
terselesaikan. Memang benar nasihat orang tua kita, jangan pernah membiarkan masalah
berlarut-larut. Hadapi apapun resikonya karena kita yang bertanggungjawab atas
hidup kita sendiri.
Malam itu kami
habiskan bertiga dengan berbagi cerita dan tawa. Selama kurang lebih 2,5 jam
aku berada disana. Aku memutuskan untuk pulang setelah ayah menelpon dan
menawarkan untuk menjemputku. Tidak perlu, di desa ini tidak pernah ada yang
berniat jahat. Ada norma tersendiri yang sangat kuat mengakar disini, jadi
tidak masalah jika malam-malam begini aku pulang sendiri. Setelah pamit pada
Cass dan Matthew akupun berjalan pulang. Mereka memaksa akan mengantarku pulang
tapi kutolak dengan penuh paksaan pula. Tentu saja aku yang menang.
Sudah 6 hari
aku disini dan semuanya kelihatannya akan baik-baik saja. Mereka tidak akan
mengejarku sampai disini kecuali mereka mau ditangkap hidup-hidup. Aku
mengingat kembali kata-kata Cassie yang menyalahkanku karena tidak menelponnya
selama ini. Seandainya saja Cassie tau, aku tidak bisa menghubunginya karena
aku sangat bingung, bahkan dengan diriku sendiripun aku bingung. Tidak ada alat
untuk berkomunikasi di sekelilingku setelah aku pindah, setidaknya tidak ada
yang terlalu wajar untuk digunakan berkomunikasi dengan orang lain. Jika aku
memaksakan satu-satunya jalur komunikasiku dengannya, aku takut dia malah akan
lari. Dia akan lebih tersakiti lagi. Aku rasa memang ini yang terbaik.
Kudengar
setelah sekian tahun, kini mereka sudah mulai berjalan di tengah-tengah orang
desa. Mereka akan pergi jika ingin pergi, mereka akan mengganggu jika ingin
mengganggu, dan mereka akan tinggal jika mereka ingin tinggal. Bunyi lonceng
yang kudengar setiap hari selama 6 hari aku disini terdengar sama seperti tahun
dimana aku memperhatikannya. Kini bunyi lonceng sudah tidak terlalu menarik
perhatianku lagi. Aku sudah tau terlalu banyak untuk bisa menggali seuatu yang
lebih berharga lagi.
Komentar
Posting Komentar