The Kingdom Out of Nowhere (Chapter II)

9 years later..
Ahhhh, lega sekali bisa ada disini lagi. Kurasa terlalu lama tinggal di kota membuat kulitku jadi kusam karena polusi. Sama seperti 9 tahun yang lalu, desa ini tidak terlalu banyak mengalami perubahan sebagaimana dulu saat aku masih tinggal disini. Masih sangat jelas di ingatanku bagaimana rasanya hidup disini, masa-masa yang indah dan penuh kenangan. Sembilan tahun memang waktu yang lama, namun sepertinya tidak ada perubahan signifikan yang terjadi disini. Tetap tenang, damai dan yang paling penting bagiku adalah udaranya yang menyegarkan. Agak sedikit konyol bukan, ketika kau bisa kembali ke tempat dimana kau lahir dan dibesarkan namun yang kau rindukan hanya sebatas udaranya yang segar. Entahlah, aku hanya terlalu suka udara disini.
Hari ini adalah hari peringatan kematian ibuku. Lima tahun yang lalu, meskipun ibuku meninggal di Manhattan, tetapi ayah bersikeras untuk memakamkannya di desa ini. Yah, kurasa banyak kenangan indah antara mereka berdua disini yang tidak bisa dilupakan begitu saja oleh ayahku.
“Ayah, ayo pulang. Kalau tidak segera pulang kita bisa terlambat makan malam di rumah paman Harry.”
“Ya, benar sekali. Kau tau persis bagaimana istrinya itu akan marah-marah seperti kuda liar jika kita terlambat.”
Aku tersenyum mendengar gurauannya. Kami berdua bergegas meninggalkan pemakaman setelah mengucap salam perpisahan kepada ibu. Kali ini aku yang mengemudikan mobilnya, karena ayah sudah terlalu letih. Ayah segera keluar dari mobil dan bergegas mengambil barang-barang kami di bagasi sesaat setelah aku mematikan mesin mobil di depan rumah paman. Saat aku keluar, ayah sudah berdiri dengan 1 koper besar dan 2 tas di tangannya.
“Biar kubawa satu.”
“Tidak perlu, didalam masih ada 2 tas. Bawa saja itu. Ini semua gara-gara kau. Mau pindah ke desa saja seperti mau pindah ke hutan belantara. Kenapa membawa tenda dan perlengkapan-perlengkapan tidak penting seperti itu.” Omelnya sambil berlalu menuju pintu masuk ke rumah paman. Kenapa pura-pura tidak tau, sudah jelas aku membawa ini karena aku tau dia sangat suka memancing. Aku tersenyum melihat punggungnya yang membelakangiku menuju ke beranda rumah paman.
Kuambil 2 tas yang tersisa di bagasi mobil dan segera menutupnya. Kulangkahkan kaki menuju rumah paman. Saat berada di dekat tangga yang menuju ke beranda rumah paman, bulu kudukku seketika berdiri. Rasanya seperti ada seseorang yang berdiri di belakangku. Kutolehkan kepalaku segera ke belakang, namun tidak ada siapa-siapa. Tanpa berpikir dua kali segera aku berjalan masuk menuju pintu rumah paman yang terbuka lebar. Sial, jangan ganggu aku disini.

Di dalam rumah paman terasa hangat dan menyenangkan. Paman Harry dan bibi Michelle menyambut kami dengan penuh antusias, bahkan bisa dibilang terlalu berlebihan. Kedua anak mereka pun tidak berhenti berkomentar melihat kelakuan kedua orang tua mereka.
“Waahhh, belum pernah ibu memasak sebanyak ini sebelumnya. Semuanya kelihatan lezat. Wah, kak Clara dan paman harus sering-sering kesini.” Ucap si bungsu James.
“Kau ini benar-benar tidak sopan James. Bicara yang baik pada paman dan kakakmu.” Omel ibunya.
“Itu benar ibu. Apa yang dikatakan James tidak salah. Karena Paman Frank dan kak Clara akan tinggal disini, itu berarti makanan kita setiap hari akan seperti ini bukan? Bagus sekali. Aku tidak akan pernah melewatkan makan malam bersama mulai sekarang.” jawab kakak James, Michael.
“Kalian berdua ini benar-benar ya! Selalu saja berbicara sembarangan. Awas kalau kalian bicara sembarangan lagi, ayah akan memotong uang saku kalian selama seminggu.”
“Apa?” ucap mereka bersamaan.
“Tidak mau, ini semua salah James. Dia yang memulai.”
“Hei, kau itu kakakku atau bukan sih? Kenapa tidak membela ku? Dasar!”
“Kalau masalah uang tidak ada yang namanya saudara tau.”
“Dasar mata duitan.”
Tiba-tiba ayahku tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat kemudian paman Harry juga tertawa terbahak-bahak. Sekarang di meja makan ada 4 orang kebingungan dengan ekspresi yang sama menatap dua laki-laki dewasa yang tertawa terbahak-bahak seperti anak-anak,  ‘apa mereka baik-baik saja?’.
“Ayah, berhenti tertawa. Nanti ayah bisa tersedak. Memangnya apanya yang lucu?”
“Ahaa,,ahhaaa.. Ahhh, sudah lama aku tidak tertawa seperti ini. Kau tau, dulu aku dan pamanmu juga selalu bertengkar di meja makan baik saat sarapan, makan siang, maupun malam. Kurasa pertengkaran 2 keponakanmu itu membuatku teringat pada masa lalu.”
“Itu benar sekali. Bahkan percakapannya pun hampir sama seperti saat kita bertengkar dulu. Ya Tuhan, aku masih mengingatnya sampai sekarang.”
Begitulah makan malam pertama kami di rumah baru yang akan kami tempati. Rumah ini adalah rumah ayahku dulu, tapi sekarang Paman Harry sudah membelinya. Paman Harry bersikeras untuk membayar rumah ini meskipun ayahku bersikeras tidak mau menerimanya. Setelah kupikir-pikir mereka berdua memang mirip dengan James dan Michael.
Hari ini sangat melelahkan. Aku ingin segera tidur dan memulai aktivitasku besok. Benar sekali, besok adalah hari pertamaku bekerja membantu di satu-satunya klinik kesehatan di desa ini. Aku benar-benar harus beristirahat. Sesaat kupejamkan mataku, namun aku tidak bisa tidur. Terlintas kembali kejadian di depan rumah paman tadi. Kenapa mereka mengangguku lagi? Bukankah sudah sangat jelas jawaban yang kuberikan pada mereka dulu. Kuhela nafas dalam-dalam, menerawang ke atas atap kamar yang kutempati saat ini.
Saat akhirnya mataku terasa berat dan mulai terpejam, terdengar suara lonceng di kejauhan. Suara lonceng yang sangat kukenal. Suara lonceng yang membuat hidupku berubah seperti sekarang ini. Tapi aku tidak peduli lagi, setidaknya sekarang. Aku hanya ingin tidur.
Keesokan harinya, aku mulai bekerja di klinik. Sebagai dokter di tahun pertama kelulusanku aku sudah mulai magang di salah satu rumah sakit besar di Manhattan, jadi kurasa tidak masalah jika sekarang aku harus bekerja di klinik. Semoga saja pasien yang datang hari ini bisa kuatasi dengan baik. Kurasa aku harus memperkenalkan diriku lagi kepada semua orang di klinik ini.
“Hai, aku Clara. Aku  dokter umum yang dipindahkan dari rumah sakit Clington Medical Centre di Manhattan. Senang bertemu dengan kalian semua dan mohon bantuannya selama aku bekerja disini.”
“Halo, Clara. Aku Mary. Aku perawat disini. Senang bertemu denganmu juga. Hari ini aku akan menunjukkan klinik padamu. Pertama-tama akan kuceritakan dokter dan petugas yang ada disini serta bagian-bagian klinik. Kurasa tidak terlalu banyak yang harus diingat.”
“Tentu saja. Terimakasih, Mary.”
Kami berkeliling klinik sambil mendengarkan Mary bercerita mengenai segala hal yang berkaitan dengan klinik. Dia memang benar, tidak banyak yang harus dihafalkan. Dokter yang bekerja disini hanya ada 6, 2 dokter umum termasuk aku, 2 dokter anak, dan 2 dokter kandungan. Ruangannya pun cukup sedikit jika dibandingkan dengan rumah sakit umum mengingat kita hanya memberikan pertolongan pertama dan pengobatan penyakit-penyakit sederhana saja disini. Bagaimanapun, aku bersyukur karena dipindahkan disini, ditempat dimana aku bisa bekerja dengan tenang tanpa harus mengkhawatirkan datangnya gangguan-gangguan dari luar.
“Ini adalah ruanganmu dokter Clara. Silahkan masuk, dan kami akan segera mengirimkan asistenmu kemari.”
“Oh, great. Terimakasih atas tur singkatnya, Mary. Kau sangat membantu.”
“Sama-sama dokter.”
Aku segera masuk ke ruanganku. Ini adalah tahun pertama aku bekerja menangani pasien secara langsung setelah 2 tahun magang. Kuharap semua berjalan lancar. Tidak lama kemudian datang seorang perawat muda yang akan membantu diruanganku. Namanya Lenna. Perawat muda yang cantik dan sopan. Kurasa umurnya sama denganku.
Pasien pertamaku hari ini adalah Mrs. Smith yang secara tidak langsung adalah tetanggaku karena sekarang aku tinggal di rumah Paman yang bersebelahan dengan rumahnya. Kurasa aku harus mulai terbiasa menangani pasien yang sudah kukenal sejak kecil disini. Dan rasanya lumayan memuaskan. Aku bisa berbicara mengenai penyakit mereka dengan lebih akrab dan leih dekat dengan mereka tentu saja. Hal yang akan sangat sulit dilakukan di tempatku dulu, dimana aku mungkin hanya akan bertemu dengan pasienku sekali seumur hidup.
  Setelah menangani 12 pasien hari ini, akhirnya waktu kerjaku habis. Sore ini akan dilanjutkan oleh dokter umum satunya. Ya, kami bekerja bergantian agar selalu ada dokter yang berjaga jika ada pasien yang sewaktu-waktu datang.
Saat menuju ke tempat parkir, aku bertemu Mr. Johnson dan istrinya. Kusapa mereka berdua dengan senyuman manis. Aku tidak menyangka mereka akan benar-benar menikah. Padahal dulu mereka berdua sangat suka beradu argumen. Bahkan saat mengajar di kelaspun mereka tidak bisa akur.
“Halo pak Johnson. Apa kabar? Bu Sterling juga apa kabar?”
“Oh hai Clara. Kabar kami baik, well sangat baik sepertinya. Kudengar kau baru pindah dari kota. Bagaimana kabarmu?”
“Ya saya merasa sangat senang bisa kembali kesini. Oh ya, apa kalian baru saja memeriksakan kandungan?”
“Begitulah. Bisa kau lihat sendiri sekarang aku sedang mengandung. Ini semua salah orang ini karena terus memaksaku memberikan banyak anak untuknya.”
“Ahahaa, yang benar saja. Bukannya kau yang selalu meminta untuk punya anak lagi sweetheart.”
“Hmm, kalian kelihatan mesra sekali bersama-sama. Aku turut senang dengan hadirnya bayi ini. Semoga dia menjadi bayi yang sehat dan proses persalinannya lancar.”
“Oh, terimakasih Clara kau baik sekali. Well, kurasa suamiku dan aku harus segera pulang, anak-anak kami sedang menunggu di rumah dengan neneknya.”
“Tentu saja, Bu Sterling. Senang bertemu anda berdua lagi.”
“Kami juga Clara. Sampai jumpa.”
Sebelum pulang ke rumah, ku sempatkan untuk mampir di The Eighties, satu-satunya market terlengkap yang bisa kutemukan disini. Mungkin akan lebih baik jika aku membelikan bibi beberapa pelengkap makanan di dapurnya mengingat dia mungkin menghabiskannya untuk memasakkanku dan ayah kemarin malam. Kuambil kereta dorong dan mulai memilih barang-barang yang harus kubeli. Tidak banyak orang yang ada didalam saat aku masuk, mungkin hanya sekitar 7 orang yang berbelanja dan 3 petugas market. Semua tempat yang kukunjungi di desa ini benar-benar tenang dan damai, kecuali klinik tentu saja.
Kulihat sekelebat orang berjalan menggunakan jaket hitam dan celana jeans hitam serta sepatu boots pendek di dekatku. Sepertinya dia sedang terburu-buru karena dia berjalan sangat cepat. Setelah memasukkan semua barang-barang yang akan kubeli ke kereta, aku menghampiri kasir untuk segera membayar. Aku berdiri di belakang si lelaki berjaket hitam itu menunggu giliran untuk membayar. Pria itu lebih tinggi dariku, mungkin tingginya 185 cm. Badannya terlihat kuat dan tegap. Dan pakaiannya kelihatan bagus. Jarang sekali aku melihat orang didesa ini yang berjalan-jalan dengan menggunakan pakaian seperti itu. Kurasa dia mungkin berasal dari kota. Setelah dia selesai aku pun segera membayar barang belanjaanku.
Saat keluar, aku melihat si lelaki berjaket hitam tadi berdiri di dekat mobilnya. Sudah kuduga dia berasal dari kota. Mobilnya bagus sekali, kurasa itu keluaran terbaru dari salah satu merk mobil ternama. Di sampingnya berdiri seorang perempuan yang bergelayut manja di tangannya. Ya Tuhan, kasihan sekali wanita itu. Kelihatan sekali dari tingkah lakunya bahwa si lelaki tidak tertarik padanya sama sekali. Sesaat kusadar, kenapa aku harus memperhatikan mereka, aku benar-benar kurang kerjaan. Kurasa tinggal di desa membuatku menjadi pengamat yang baik, pikirku sambil tersenyum.
Aku segera menuju mobil yang terparkir di sisi kanan market. Setelah semua belanjaanku masuk, akupun mengemudikan mobil keluar parkir. Sekilas kulihat sekarang ada dua mobil yang terparkir di depan market, mobil lelaki itu dan mobil temannya mungkin dilihat dari penampakannya yang tidak kalah mewah dari mobil yang pertama. Kulihat melalui spion seorang wanita muda keluar dari mobil, saat itulah jantungku berhenti berdegup. Kupejamkan mata dan kuatur nafasku perlahan, kulajukan mobilku lebih cepat dari siapapun yang ada di jalan saat itu. Aku ingin segera sampai di rumah.
Sesampainya di rumah aku merasa tenang. Segera aku masuk kedalam rumah paman dan pergi ke kamar setelah meletakkan barang belanjaanku di dapur. Aku merasa lega sekaligus merasa bersalah. Kenapa lari Clara? Kenapa lari darinya? Kau ini benar-benar tidak berubah.

Minggu pertamaku di desa ini berjalan cukup baik. Pekerjaanku di klinik lumayan menyita waktu hingga aku tak perlu repot-repot mencari kegiatan untuk mengisi waktu luangku disini. Setiap pagi jam 8 aku pergi ke klinik dan pulang saat matahari sudah tenggelam. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain bermain dengan keponakanku, membantu bibi, ayah atau paman, dan mengunjungi tetangga lama. Aku ingin menyelesaikan kunjungan ke teman-teman sekolahku dulu minggu ini agar ayah tidak mengomeliku terus-terusan memintaku untuk gencar bersosialisasi. Memangnya aku dulu tidak pernah tinggal disini? Tenang saja ayah, aku sudah sangat mengenal mayoritas orang-orang yang ada disini, tinggal berkenalan dengan para pendatang saja.
Malam itu setelah mandi dan mengganti pakaian kerjaku, aku memutuskan untuk mengunjungi salah seorang teman kecilku dulu yang bisa dibilang cukup dekat denganku. Entah kenapa dia tidak segera mendatangiku saat aku pindah padahal aku yakin berita kedatanganku pasti sudah tersebar di desa ini. Ini agak sedikit aneh. Semoga dia tidak marah padaku mengingat dulu aku pergi terlalu tergesa-gesa hingga hanya sempat mengucapkan salam perpisahan singkat. Kuambil jaket hitamku dari lemari dan segera mengenakannya untuk melindungi tubuhku yang hanya dilapisi kaus abu-abu besar. Kulihat tampilanku di cermin, cukup memuaskan. Kaus abu-abu putih dengan jins dan jaket hitam terlihat kasual tapi cukup sopan. Kusambar tas kecilku yang berada di dekat meja kerja lalu segera turun.
“Bibi, aku akan pergi ke rumah Cassie. Kurasa aku harus menyapanya dulu.”
“Oh tentu saja sayang. Pergilah, dan hati-hati. Aku akan mengatakannya pada paman dan ayahmu nanti.”
“Terima kasih bibi. Aku pergi.”
Akupun segera berjalan menuju rumah Cassie. Rumah Cassie tidak terlalu jauh dari rumah paman, hanya terpisah beberapa blok saja. Semoga saja dia ada di rumah, jika tidak maka kedatanganku akan sia-sia. Saat aku berjalan, aku berpapasan dengan beberapa tetangga. Mereka tetap ramah seperti dulu, tidak seperti tetanggaku saat di Manhattan dulu yang bahkan jarang bertatap muka denganku. Seminggu mungkin hanya sekali aku bertemu mereka saat weekend. Beberapa dari tetangga yang kujumpai malah menawarkanku untuk pergi bersama mereka. Tapi aku menolak semuanya dengan halus, aku ingin berjalan-jalan sendiri hari ini.
18 menit kemudian aku sampai di depan rumah Cassie. Bentuk rumahnya masih sama seperti dulu, tapi warna catnya kini berbeda. Ditambah lagi halaman rumahnya yang dulu hanya ditumbuhi rumput kini sudah ditanami berbagai macam pohon. Menarik sekali mengingat orang tua Cassie sama sekali tidak suka direpotkan dengan urusan tanam-menanam seperti itu. Kutekan bel pintu rumahnya sambil menajamkan pendengaranku untuk mengamati suara yang ada di dalam rumah. Sekali lagi kutekan belnya sambil mencoba melihat kedalam melalui jendela di dekat pintu. Tak lama kemudian pintu mulai terbuka. Seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu mengamati wajahku dengan serius.
“Ada yang bisa saya bantu.”
“Oh, tentu Mrs. Philips. Ini aku Clara, teman sekolah Cassie dulu. Apa anda ingat aku?”
“Oh Clara, anak Frank dan Emma? Oh tentu saja sayang aku ingat padamu. Masuklah, di luar dingin bukan?”
“Terimakasih Mrs. Philips.”
Aku pun dipersilakan masuk menuju ruang tamu rumah ini. Ruang tamu yang berkali-kali kumasuki dengan Cassie, baik dalam keadaan berlari, berjalan, duduk, menari, bahkan menangis. Rasa rinduku pada Cassie semakin bertambah. Mungkin jika aku kesini lebih cepat akan lebih baik.
“Duduklah sayang, aku akan mengambilkan minum untukmu. Apa yang ingin kau minum?”
“Tidak usah repot-repot Mrs. Philips, kurasa air saja sudah cukup, terimakasih.”
“Sama sekali tidak repot sayag. Tunggu sebentar.”
Aku menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh harap. Kenapa rumah tampak sepi, apa Cassie tidak ada di rumah? Dimana adik-adiknya? Kurasa mereka sudah besar sekarang. Kupandang foto-foto yang berderet di dinding dengan antusias. Cassie tidak berubah sama sekali, selalu tampak dewasa dan riang. Dulu setiap kali kami berjalan-jalan ke suatu tempat, orang-orang pasti mengira aku adik Cassie karena aku sangat manja padanya, dan Cassie selalu kelihatan menjagaku dengan baik. Aku merasa bersalah tidak pernah menelponnya selama ini.
“Ini sayang, minumlah.”
“Terimakasih, Mrs. Philips.”
“Bagaimana keadaanmu dan ayahmu? Aku turut berduka dengan kematian ibumu, sayang.”
“Oh, terimakasih Mrs. Philips. Kami baik-baik saja sekarang. Kami akan memulai kehidupan kami lagi disini dengan lebih baik.”
“Ya, kurasa kau tidak bisa pergi jauh dari sini bukan?”
“Benar sekali. Mm, rumah kelihatan sepi? Apa tidak ada orang lain selain anda disini?”
“Ya, kau benar. Malam ini hanya ada aku disini, suamiku belum kembali dari peternakan jadi kau tidak bertemu siapa-siapa. Sayang sekali bukan?”
“Tidak apa-apa Mrs. Philips. Saya cukup senang bisa bertemu dengan anda lagi. Tapi, bagaimana dengan Cassie? Annabelle dan Mia juga?”
“Oh, maaf sayang. Aku terlalu senang bisa melihatmu lagi sampai-sampai aku lupa menyampaikan hal yang paling penting. Annabelle sedang berkuliah sekarang di Manhattan, dia tinggal bersama Mia disana. Mereka bekerja dan melanjutkan sekolah mereka disana. Mereka baru saja pindah jadi aku tidak sempat meminta mereka mengunjungimu disana, tapi ternyata sekarang kau kembali kesini.”
“Wow, aku lupa mereka sekarang pasti sudah besar Mrs. Philips. Menyenangkan sekali jika bisa bertemu mereka lagi, mereka sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Pasti menyenangkan sekali punya adik seperti mereka.”
“Kurasa hanya kau yang beranggapan seperti itu sayang. Ccassie sudah cukup pusing mengurusi adik-adiknya, dan sekarang dia bisa bernapas lega karena mereka sudah bisa hidup mandiri.”
“Lalu, dimana Cassie sekarang Mrs. Philips?”
“Oh, aku benar-benar pelupa. Baru saja akan kuceritakan padamu sayang. Maafkan aku karena umurku sudah terlalu tua untuk bisa mengingat hal penting. Cassie sekarang tidak tinggal disini lagi sayang, dia tinggal dengan suaminya, Matt.”
“Maaf, siapa? Matt? Apakah yang anda maksud adalah Matthew Parkinson?”
“Iya sayang benar sekali. Kalian satu sekolah juga kan dulu. Ini benar-benar takdir kurasa. Aku lega karena Cassie mendapatkan pendamping hidup yang setia dan bertanggungjawab seperti Matt. Kau tau alamat rumah Matt bukan? Mereka tinggal disana sekarang. Ayah dan ibu Matt sudah meninggal jadi tidak ada yang mengurusi rumah itu, sehingga mau tidak mau Cassie harus kurelakan untuk pindah dengan Matt.”
“Wow. Tapi, kenapa tidak ada yang memberi tahuku Mrs. Philips? Bahkan bibi Michelle pun tidak mengatakan apa-apa padaku. Kapan mereka menikah?”
“Kurasa bibimu sengaja tidak memberitahukannya untuk mengejutkanmu sayang. Mereka menikah tahun lalu. Kurasa kau bisa mengunjungi mereka sekarang jika kau ingin.”
“Oh, tentu saja Mrs. Philips. Rumah mereka tidak terlalu jauh dari sini. Kurasa aku harus pergi sekarang agar tidak pulang terlalu malam nanti Mrs. Philips.”
“Tentu saja sayang. Mampirlah lagi jika kau ada waktu.”
“Terimakasih atas minumannya Mrs. Philips.”
Aku melangkah meninggalkan rumah Cassie setelah sekali lagi mengucapkan terimakasih pada ibu Cassie. Aku tersenyum riang, benar-benar riang. Sebenarnya lebih ke senyuman geli dan tidak percaya. Bagaimana bisa Matt menjadi orang yang setia? Apalagi bertanggungjawab? Itu sama sekali tidak mungkin. Tentu saja, jika ada yang pernah satu sekolah dengan si playboy Matthew Parkinson pasti akan berpikiran seperti itu. Untung saja aku sudah pernah melihat betapa Matt sangat jatuh cinta pada Cassie, jadi aku tidak akan berpikiran itu tidak mungkin. Jika ia menikah dengan Cassie, pasti karena dia sangat mencintainya. Kurasa aku harus memperingatkan Matt untuk tidak main-main dengan sahabatku seperti dulu yang kulakukan padanya saat mencoba mendekati Cassie.
Sepulu menit kemudian aku sampai di depan halaman rumah Matt. Kulihat jam ditanganku masih menunjukkan pukul 8. Kurasa aku masih punya beberapa jam sebelum harus pulang. Kutenkan bel pintu dengan jantung yang berdegup kencang. Sesaat kemudian pintu terbuka dan keluarlah seorang pria mengenakan sweater abu-abu dan celana santai hitam dari balik pintu. Sambil menatapku dia mencoba mengingat-ingat sesuatu. Aku tersenyum di depannya. Perlahan matanya mulai terbuka semakin lebar, kemudia dia berseru.
“Clara, kaukah itu?”
“Sepertinya kau tidak lupa padaku, Matt. Hai, lama tidak berjumpa.”
“Wow..” ucapnya sambil terus tersenyum melihatku.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah.
“Siapa yang datang honey?”
“Tebak siapa, sayang. Kemarilah.”
Aku mendengar langkah kaki menuju kearah kami. Sesaat kemudian kulihat seorang perempuan dengan rambut pirang tergerai sepanjang bahu menggunakan baju hamil yang kelihatan manis di tubuhnya. Mata birunya melebar setelah melihatku.
“Hai, Cass. Apa kabar?”
Aku menunggu jawaban darinya, tapi jawaban itu tidak kunjung keluar dari mulutnya. Tba-tiba ia berbalik masuk ke rumah dengan wajah marah. Oh, tidak. Apa yang kutakutkan telah terjadi. Kurasa aku harus mengeluarkan semua kemampuan merayuku malam ini.
“Oh, maafkan dia Clara. Kurasa dia agak sensitif akhir-akhir ini. Mungkin karena bayinnya. Aku akan menjadi ayah kau tau? Ini benar-benar menakjubkan.”
“Ya, kau pasti merasa senang. Apakah aku pulang saja?”
“Apa? Omong kosong. Masuklah, aku akan mencoba membujuknya untuk bicara denganmu.”
Aku pun masuk ke dalam rumah Matt. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini. Tapi nuansa yang kurasakan tidak jauh berbeda dengan rumah Cassie. Mungkin itu sebabnya orang bilang bahwa rumah adalah identitas seseorang.
“Cass, honey. Jangan seperti itu pada Clara. Dia datang jauh-jauh untuk mengunjungimu. Ayolah, bicaralah sebentar dengannya.”
“Aku tidak ingat pernah punya teman dengan nama Clara.”
Seperti ditusuk pisau, begitulah rasanya hatiku saat ini. Kata-katanya membuatku sedih, karena aku telah menyakitinya begitu dalam. Aku tidak sadar selama ini bahwa aku membuatnya menunggu kabar dariku begitu lama hingga akhirnya ia menyerah untuk mendengarnya.
“Oh, honey. Jangan bicara seperti itu. Ted kita tidak akan suka mendengarnya.”
“Aku mengatakan kebenaran. Memangnya kenapa aku harus mengingat orang yang meninggalkanku tanpa kabar selama bertahun-tahun.”
“Maafkan aku Cass. Aku bersalah karena tidak segera menghubungimu dulu. Aku merasa begitu bingung saat itu dan tidak tau harus berbuat apa, apalagi untuk menghubungimu, aku sama sekali tidak bisa.” Ucapku hampir meneteskan air mata.
“Memangnya kita hidup di zaman apa, honey? Apa menurutmu masuk akal jika seseorang tidak bisa menghubungi orang lain padahal orang itu sangat hafal nomor telepon orang lain itu?”
“Mungkin dia sedang dalam keadaan sulit, Cass. Ayolah, jangan begitu.”
“Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal tidak menelponmu secepatnya saat itu. Kurasa aku hanya akan membuatmu khawatir jika aku menelpon, jadi aku memutuskan untuk tidak menelponmu. Itu semua memang salahku. Lebih baik aku pergi sekarang. Tidak baik jika kau marah-marah seperti itu saat mengandung. Mungkin kita bisa bicara lain kali. Maaf aku sudah menganggumu malam-malam, dan terima kasih untuk semuanya.”
Aku berbalik menuju ke pintu depan. Air mata yang kutahan dari tadi mengalir deras di pipiku sekarang. Ini semua memang salahku. Saat aku akan membuka pintu, kurasakan sebuah tangan mencengkeram pundakku.
”Kau pikir, setelah kau datang ke rumahku seenaknya saja apa aku akan membiarkanmu pulang. Setidaknya izinkan aku membuatkan minuman untukmu dulu sebelum pergi.”
Aku menoleh mendengar suara Cassie.
“Apa?”
“Kau tidak dengar ya, aku bilang kau belum boleh pergi.”
Kulihat senyum menghiasi wajahnya, kemudia air mata turun mengalir di pipinya. Tiba-tiba dia memelukku dengan erat. Kami pun menangis berdua bersama-sama. Tangisan yang menguras kantong air mataku. Belum pernah aku menangis sekeras itu kecuali saat ibuku meninggal.
“Terimakasih. Dan Maaf.” Kuselipkan kata-kata disela tangisku untuknya.
Dia hanya mengangguk. Kami terus menangis sampai hampir kira-kira 10 menit sebelum kurasakan tangan yang kuat memisahkan kami berdua.
“Hei..hei.. Kalian! Kapan akan berhenti menangis? Honey, jangan terlalu lama menangis. Ted kita bisa sedih.” Ucapnya sambil memeluk dan mengelus perut buncit Cassie.
“Oh ya Tuhan. Aku benar-benar tidak tahan dengan kalian.” Ucapku sambil tersenyum. Akhirnya beban yang mengisi hatiku sekarang sedikit terlepas. Satu masalah terselesaikan. Memang benar nasihat orang tua kita, jangan pernah membiarkan masalah berlarut-larut. Hadapi apapun resikonya karena kita yang bertanggungjawab atas hidup kita sendiri.
Malam itu kami habiskan bertiga dengan berbagi cerita dan tawa. Selama kurang lebih 2,5 jam aku berada disana. Aku memutuskan untuk pulang setelah ayah menelpon dan menawarkan untuk menjemputku. Tidak perlu, di desa ini tidak pernah ada yang berniat jahat. Ada norma tersendiri yang sangat kuat mengakar disini, jadi tidak masalah jika malam-malam begini aku pulang sendiri. Setelah pamit pada Cass dan Matthew akupun berjalan pulang. Mereka memaksa akan mengantarku pulang tapi kutolak dengan penuh paksaan pula. Tentu saja aku yang menang.
Sudah 6 hari aku disini dan semuanya kelihatannya akan baik-baik saja. Mereka tidak akan mengejarku sampai disini kecuali mereka mau ditangkap hidup-hidup. Aku mengingat kembali kata-kata Cassie yang menyalahkanku karena tidak menelponnya selama ini. Seandainya saja Cassie tau, aku tidak bisa menghubunginya karena aku sangat bingung, bahkan dengan diriku sendiripun aku bingung. Tidak ada alat untuk berkomunikasi di sekelilingku setelah aku pindah, setidaknya tidak ada yang terlalu wajar untuk digunakan berkomunikasi dengan orang lain. Jika aku memaksakan satu-satunya jalur komunikasiku dengannya, aku takut dia malah akan lari. Dia akan lebih tersakiti lagi. Aku rasa memang ini yang terbaik.

Kudengar setelah sekian tahun, kini mereka sudah mulai berjalan di tengah-tengah orang desa. Mereka akan pergi jika ingin pergi, mereka akan mengganggu jika ingin mengganggu, dan mereka akan tinggal jika mereka ingin tinggal. Bunyi lonceng yang kudengar setiap hari selama 6 hari aku disini terdengar sama seperti tahun dimana aku memperhatikannya. Kini bunyi lonceng sudah tidak terlalu menarik perhatianku lagi. Aku sudah tau terlalu banyak untuk bisa menggali seuatu yang lebih berharga lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramuan Drama Cinta - Clara Ng

The Kingdom Out of Nowhere (Chapter I)

Jampi-Jampi Varaiya - Clara Ng