The Kingdom Out of Nowhere (Chapter III)
Hoaaaahhhmmm...
Hari ini aku libur kerja,
meskipun sebenarnya mustahil untuk mendapatkan libur kerja mengingat jumlah dokter
di klinik yang kurang begitu memadai, tapi bagaimanapun untunglah mereka punya manajemen
yang baik sehingga masing-masing tetap punya kesempatan untuk berlibur walau
hanya sehari. Liburanku saat ini harus kumanfaatkan dengan baik. Setidaknya aku
harus menyelesaikan tur-ku yang sempat tertunda gara-gara jadwal kerja yang
padat. Tapi, pagi ini aku terbangun dari mimpi yang tidak terlalu meyenangkan.
Semoga saja mimpi itu tidak keluar dari alam bawah sadarku hari ini.
Pertama-tama, akan kumanfaatkan
waktu liburku untuk mengunjungi rumah seorang mantan guruku. Meskipun rumahnya
berada di kota sebelah, Pucha, setidaknya jika menggunakan mobil dari sini
mungkin hanya akan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Kegiatan selanjutnya akan
kupikirkan nanti.
Pukul 08.00 pagi aku mulai
mengendarai mobilku menuju ke rumah Mrs. Grundeweld dan seperti perkiraan,
pukul 09.30 tepat aku sampai di depan rumahnya. Rumah itu kini nampak berbeda
dengan rumah yang kuingat dulu. Rumah itu kini berbentuk menyerupai segilima
dengan berbagai aksesoris aneh yang menempel tak beraturan. Mungkin itu
satu-satunya kesamaan rumah itu sekarang dengan dulu, sama-sama aneh dan tidak
wajar. Benar-benar selera Mrs. Grundeweld.
Tidak lama setelah ku ketuk
pintu, keluarlah seorang anak perempuan kira-kira berusia sepuluh tahun yang
menyambutku dengan wajah yang muram.
“Maaf, Mrs. Georgia sedang tidak
ada di rumah. Mohon kembali lain waktu.” Ucap anak itu sambil melirik jengkel
padaku. Kemudian secara tiba-tiba gadis itu menutup pintu tergesa-gesa, sebelum
sempat kutahan dengan kakiku.
“Oh, sayang sekali. Terimakasih
sambutannya.” Ucapku pada pintu dihadapanku, seandainya pintu bisa berbicara.
Melihat tidak ada kesempatan
bagiku untuk masuk ke rumah dan disambut dengan baik meski sebanyak apapun aku telah
menghabiskan waktuku untuk mengetuk pintu itu, tidak ada yang bergeming.
Menyebalkan sekali gadis itu. Kurasakan amarahku mulai naik beberapa tingkat
seiring bertambah panasnya telapak tanganku. Ini pertama kalinya aku merasa
marah selama aku kembali tinggal di Mica. Tidak ada yang bisa kulakukan selain
pergi sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Dengan langkah lesu, aku kembali ke
mobil dan menancap gas menuju kemana pun aku merasa harus pergi.
Sepuluh menit kemudian, mobilku
sampai di tanah berpasir dekat dengan pantai di sebelah barat Pucha. Entah bagaimana
aku bisa menemukan tempat ini, aku tersenyum. Memang sekarang waktu yang tepat
untuk menikmati pemandangan yang menakjubkan. Kuparkir mobilku di sebelah kanan
pesisir pantai. Kulangkahkan kaki telanjangku menginjak tanah berpasir lembut bagaikan
berlian dibawah sinar matahari. Cuaca yang bagus, kesepian yang nyaman dan
pengalihan yang sempurna.
Sambil bersiul-siul riang, aku
berjalan-jalan di tepi pantai yang menjadi batas pemisah antara pulau dengan
lautan. Debur ombak menyapu kakiku dengan lembut, kurasakan gelitik kecil di
kakiku sebelum menemukan kepiting kecil merayap menjauh. Sesaat kupejamkan
mata, menikmati suara debur ombak yang menenangkan. Tiba-tiba kurasakan tubuhku
melayang di awang-awang kemudian meluncur tajam kebawah dengan sekejap hingga terdengar
suara-suara teriakan dan panggilan saling bersahutan di telingaku. Aku mencoba
membuka mataku tapi tidak bisa. Teriakan itu terdengar semakin semakin jelas
dan nyaring hingga terdengar panggilan suara sesosok perempuan menyebut namaku
dengan gemetar. ‘Clara, kumohon..’.
Hentikan.. Berhenti! Kucoba untuk berteriak sekuat tenaga tapi tidak ada secuil
suara pun yang keluar. Aku mulai merasa lelah, dan teriakan-teriakan itu
semakin lama semakin keras, beragam, dan menyakitkan. Berhenti... Kumohon, hentikan semua ini!
Tubuhku serasa dijatuhkan ke
tanah ketika mataku membuka dengan tangan terkepal erat. Ku lihat sekelilingku,
tidak ada siapa-siapa. Air deburan ombak menyapu tubuhku yang kini terduduk
lemas di tepi pantai yang sunyi itu. Apa yang terjadi? Aku seharusnya tidak
mengalami ini lagi sekarang. Aku sudah bebas dari mereka, tetapi kenapa?
Aku memutuskan untuk segera pulang.
Perasaanku tidak terlalu baik hari ini. Mungkin memang liburan ini harus
kuhabiskan di rumah beristirahat dengan tenang. Kulajukan mobilku menuju kearah
dimana aku datang, membelah jalanan yang sepi dengan cepat. Jalan yang kulalui
begitu sepi hingga aku mulai merasa ada yang aneh. Sebelumnya tadi setidaknya
ada beberapa mobil yang melaluiku, tentu saja karena ini jalur utama, tidak
mungkin mobil lewat jalan lain yang lebih kecil dan lebih tidak terawat
daripada jalan ini. Mobilku kini melaju dengan kecepatan tercepat yang bisa
kuatasi. Jalan yang dinaungi pohon akasia di kanan kiri jalan melindungi
mobilku dari sinar matahari yang menyengat.
Tiba-tiba mobilku tersendat disertai bunyi letusan di bagian depan kap mobil, hingga akhirnya mobilku berhenti sama sekali. Ya Tuhan, sepertinya dewi fortuna mengabaikanku hari ini. Benar-benar kejadian tidak terduga yang datang beruntun. Untung saja mobilku sempat kupinggirkan ke sebelah kiri jalan, sehingga tidak akan terlalu menghalangi jalanan. Yang perlu kulakukan sekarang hanyalah mencari pertolongan dalam bentuk apapun itu. Ku buka kap mobilku dan menyongsong asap mengepul dari mesin mobil. Sial.
Tiba-tiba mobilku tersendat disertai bunyi letusan di bagian depan kap mobil, hingga akhirnya mobilku berhenti sama sekali. Ya Tuhan, sepertinya dewi fortuna mengabaikanku hari ini. Benar-benar kejadian tidak terduga yang datang beruntun. Untung saja mobilku sempat kupinggirkan ke sebelah kiri jalan, sehingga tidak akan terlalu menghalangi jalanan. Yang perlu kulakukan sekarang hanyalah mencari pertolongan dalam bentuk apapun itu. Ku buka kap mobilku dan menyongsong asap mengepul dari mesin mobil. Sial.
Setengah jam kemudian masih
tidak ada tanda-tanda akan adanya mobil yang lewat. Kucoba menghubungi nomor
ayahku untuk mencari tau kontak bengkel yang sekiranya bisa mencapai lokasiku,
tapi tidak ada sinyal satupun yang muncul di ponselku. Bagaimana ini? Apa yang
harus kulakukan? Dengan kesal kutendang mobilku hingga kap yang terbuka bergetar
diatas pengait. Menyebalkan. Aku butuh pelampiasan rasa kesal selain dengan
menendang mobil. Tidak mungkin kulakukan disini, mereka bisa datang
menghampiriku.
Sesaat kemudian kudengar deru
mobil di kejauhan. Dari suaranya bisa dibayangkan secepat apa mobil itu melaju.
Aku menimbang-nimbang untuk berdiri di tengah jalan agar mobil itu berhenti
dengan mempertaruhkan nyawaku. Atau, aku hanya harus berdiri di samping mobilku
dan melambaikan tangan meminta pertolongan. Akhirnya ku putuskan untuk berdiri
di samping mobil sambil melambaikan tangan berharap mobil itu akan berhenti.
Saat mobil itu mendekat dengan cepat, aku merasakan perasaan familier yang
aneh. Sepertinya aku pernah melihat mobil itu sebelumnya. Dengan semangat yang
menggebu untuk berhasil, aku melambai-lambaikan tangan mencoba meminta
pengendara mobil di depanku untuk berhenti. Tentu saja tiga detik kemudian aku
terpaku di jalan dengan raut wajah kesal diiringi deru mobil yang semakin
menjauh. As expected.
Akhirnya, sambil terkulai lemas
di sisi mobil, aku berharap datangnya mobil lain yang bisa menyelamatkanku dari
keterdamparan tanpa akhir ini. Belum sampai semenit, mobil yang lain menyusul
dari arah yang sama dengan kecepatan yang hampir menyamai kecepatan mobil
pertama sebelumnya. Meskipun kemungkinan besar akan mengalami penolakan
kembali, akan tetapi tidak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain melambaikan
tangan meminta pertolongan pada pengendara mobil satu ini. Dan tentu saja,
mobil itu melewatiku tanpa tanda-tanda ingin berhenti. Sedetik kemudian ketika
mobil itu melintas tepat di depanku, aku berharap mobil itu tidak berhenti.
Pergilah, jangan berhenti! Ucapku dalam hati.
Namun, seperti permintaan-permintaan
dan harapanku sebelumnya yang selalu berakhir dengan kenyataan yang
berkebalikan, mobil itu berhenti tepat sekitar 20 meter dari mobilku.
Pengendara mobil itu memundurkan mobilnya dengan cepat, sedetik kemudian
sesosok wanita muda keluar dari dalam mobil dengan tatapan terkunci padaku.
“Hai, terimakasih sudah
berhenti. Aku rasa aku membutuhkan bantuan dengan mobilku. Apa kira-kira kau
bisa membantuku?”
“Oh, tentu saja. Apa yang bisa
kulakukan untukmu?” jawab wanita itu dengan pandangan yang tak lepas sedikitpun
dariku, meskipun seharusnya ia juga mengamati mobilku dengan kap depan yang
terbuka lebar mengepulkan asap sesekali.
“Aku merasa wanita muda cantik
sepertimu tidak akan paham mengenai masalah otomotif seperti ini, tapi
barangkali kau cukup berpengalaman untuk bisa membantuku menyelesaikan mobilku
yang tiba-tiba mogok ini aku akan sangat berterimakasih.”
“Benarkah? Coba tunjukkan apa
yang salah dengan mobilmu ini.”
Kuarahkan wanita itu menuju kap
mobilku yang terbuka lebar. Aku termasuk orang yang sangat peka pada sekitarku,
terutama jika ada seseorang yang mengamatiku. Meskipun aku sibuk menunjukkan
padanya mesin mobilku yang mengeluarkan asap dan tidak bisa di starter kembali,
aku merasakan tatapan wanita itu mengarah kepadaku tanpa jeda.
“Jadi, bagaimana menurutmu? Apa
yang harus kulakukan dengan mobilku ini?”
“Mm, kurasa aku bisa membantu.
Bisakah kau mencoba menghidupkannya lagi ”
“Baiklah.” Jawabku merasa tak
yakin dia bisa melakukannya namun tetap saja aku berputar kearah kursi kemudi
untuk menyalakan kembali mobilku. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas
mobilku hidup dengan cepat dan keras, meraung di jalanan sunyi itu. Wow, dia
benar-benar tidak kehilangan sentuhannya.
“Wow, terimakasih. Apapun yang
sudah kau lakukan pada mobilku, akhirnya ia mau hidup lagi.”
“Anytime. Ngomong-ngomong, kau akan kemana?”
“Oh, aku menuju ke Mica, dan
kurasa aku harus segera pergi sekarang karena aku benar-benar sudah sangat
terlambat. By the way, terimakasih untuk semuanya. Apa mungkin ada yang bisa
kulakukan untukmu? Aku minta maaf karena sudah menyita waktumu seperti ini.”
“Tidak masalah. Aku senang bisa
membantu. Kebetulan aku juga akan ke Mica. Apa kau tinggal disana? Mungkin aku
bisa menemuimu lain kali untuk menagih ucapan terimakasihmu padaku.”
“Tentu saja. Kau bisa datang
padaku jika kau membutuhkan sesuatu. Aku bekerja di klinik. Kau bisa bertanya
pada staf disana jika ingin menemuiku. Namaku Clara.”
“Bagus sekali. Senang berjumpa
denganmu. Aku rasa aku juga harus pergi dulu, sebenarnya aku sedang dalam
pengejaran penting. Jadi, pastikan membayarku dengan impas lain kali.”
“Absolutely, thanks and safe drive.”
“You too, darling.”
Aku pun berbalik menuju pintu
mobilku yang setengah terbuka. Tanpa memandang kedepan sama sekali aku mencoba
memasang sabuk pengaman secepat mungkin. Saat kualihkan pandanganku ke jalan,
dia sudah tak di sana. Jejak ban mobil yang membekas di depanku menunjukkan
betapa cepatnya dia mengemudikan mobilnya. Sejenak kuhembuskan nafas perlahan,
mensyukuri kejadian yang baru saja menimpaku sekaligus menyayangkannya. Mengapa
harus dia? Apa dia mengingatku? Tidak, tidak mungkin dia mengingatku.
Perjalananku ke rumah
menjadi perjalanan terlama yang pernah kurasakan. Hanya terlentang di kamarlah
yang bisa kulakukan sekarang. Menerawang jauh ke atas menembus atap kaca tepat
di depan mataku. Aku bisa merasakannya dengan jelas, kejadian di pantai,
kesunyian jalan yang kulalui, dan kesialan yang menimpa mobilku. Ada apa dengan
hari ini? Benar-benar menyebalkan sekaligus melelahkan. Kurasakan kelopak
mataku menutup dan dunia menjadi gelap untuk sementara.
Komentar
Posting Komentar