Short Story: Meragu

Tanpa ada yang tau, pagi itu aku menyelinap keluar rumah dan bergegas menuju ke tempat dimana aku menyembunyikan alat gambarku. Setiap detik yang terlewat terasa begitu menegangkan bagiku, yang sebelumnya tidak pernah pergi keluar rumah tanpa izin. Entah kenapa, tahun ini kepribadianku menjadi semakin berubah, aku sendiri benar-benar mengakuinya. Aku merasa ingin menerobos batasan-batasan yang selalu mengurungku dengan kuat. Aku ingin menunjukkan sisi yang berbeda dari aku yang dulunya dikenal sebagai anak manis penurut yang pintar. Aku juga butuh kesenangan, dan karena selama ini aku terus berusaha jadi figur yang baik untuk semua orang, aku jarang sekali mendapatkannya.
Aku merasa tidak masalah jika sesekali melakukan sedikit hal ekstrem untuk diriku sendiri. Sebenarnya pemikiran ini sudah sejak dulu menghantuiku, namun baru sekarang inilah aku berani mewujudkannya. Dengan kaki yang melangkah mengendap-endap, aku melewati halaman belakang rumah dengan sekuat tenaga mencoba untuk tidak membuat sedikitpun kebisingan. Aku tidak percaya betapa hebatnya tokoh-tokoh remaja di film yang selalu berhasil meloloskan diri dari rumahnya bahkan dengan melewati jalur tersulit pun tanpa ketahuan. Melarikan diri dari rumah, tunggu..tunggu.. apa yang kulakukan ini tidak bisa disebut dengan melarikan diri. Aku hanya bermain di hutan kecil dekat rumahku saja, bahkan tidak lebih dari 1 km dari rumahku. 
Mungkin, ini karena aku tidak pernah pergi jauh jadi rasanya walaupun hanya pergi ke hutan di belakang rumah sudah seperti pergi keluar kota. Aku tertawa kecil di dalam hati mendengarkan otakku yang berbicara melantur soal kabur keluar kota. Baiklah, jika percobaan hari ini berhasil, mari mencoba melakukan percobaan yang lebih jauh sedikit, mungkin ke desa sebelah atau desa sebelahnya lagi.
Setelah beberapa menit berjalan melintasi rumput alang-alang yang tinggi menjulang menutupi sebagian jalan menuju ke hutan kecil di depanku, aku pun sampai di pinggir hutan. Di situlah tempat dimana aku memutuskan akan pergi kemana untuk menggambar hari ini. Ku edarkan pandangan ke sekeliling hutan yang ramai dengan cuitan burung-burung kecil dan gemerisik dedaunan yang terhempas angin. Di sebelah kanan kurasa pemandangannya agak sedikit kurang menarik. Sebagaimana yang ku ketahui jika aku mengambil jalan lurus ke kanan aku akan sampai di ladang tebu sebelah desaku yang terkesan gersang karena daunnya yang telah kering dan berwarna kecoklatan. Di sebelah kiri kurasa pemandangannya cukup bagus, jika aku berjalan lurus dan berbelok sedikit ke arah timur aku akan bertemu dengan anak sungai kecil. Kurasa aku akan mengambil jalan yang kiri.
Setelah 3 menit berjalan dibawah pepohonan dengan segala peralatan menggambarku yang kutenteng dalam tas punggung, aku sampai di tempat yang dekat dengan anak sungai. Aku bahkan bisa mendengar gemericik air sungai yang mengalir ke hilir nun jauh di bawah desaku, Aku kesulitan untuk memutuskan akan menggambar di sini atau di dekat anak sungai di sebelah kanan tempatku berdiri, karena pemandangan yang terhampar benar-benar sama bagusnya. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti di tempatku terakhir kali dan menggelar tikar kecil yang sudah kupersiapkan di dalam tas. Aku mengeluarkan semua isi tasku dengan semangat, dan bahkan aku tidak lupa membawa sebotol air minum. Aku ini memang jenius.
Saat akan membuka buku sketsa bersampul coklatku yang terlihat usang karena terlalu sering kupindah-pindahkan, aku teringat wajah ibuku. Bagaimana nanti jika ibu merasa cemas mencariku kemana-mana? Dan bagaimana pula jika ayah sangat marah hingga tidak memperbolehkanku untuk datang ke rumah? Aku membayangkan setiap skenario buruk yang mungkin saja terjadi akibat ulahku ini. Dan hal ini membuatku semakin gusar.
Sejenak kupikirkan kembali jika aku sudah benar-benar matang dengan rencana ini dan yakin jika mereka akan baik-baik saja. Mungkin mereka akan menganggapku main ke rumah si Kriting seperti biasa. Mereka tidak akan merasa khawatir dan akan tetap melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Tetapi, bagaimana jika mereka pergi ke rumah Kriting dan tidak menemukanku di sana? Akankah mereka mencariku kemana-mana? Bagaimana perasaan mereka nanti jika akhirnya aku pulang ke rumah mengatakan bahwa aku baru saja pergi menggambar di tengah hutan. Oh, Tuhan... ini benar-benar tidak baik.
Gejolak aneh terasa di perutku yang memang belum terisi apapun itu sejak pagi. Kepalaku berputar-putar seolah memaksaku untuk mencari jalan keluar dari perasaan yang sangat tidak menyenangkan ini. Aku merasa mual dan ingin muntah. Ku kepalkan tanganku erat-erat mencoba untuk mengurangi rasa bersalah yang tiba-tiba menyerangku. Secepat kilat aku berdiri dan mengemasi semua barang-barang yang telah ku keluarkan ke dalam tasku kembali. Kugulung tikar kecilku dengan tergesa-gesa dan membawanya lari ke arah dimana aku pertama datang. Aku menerobos beberapa pohon kecil yang menghalangi jalanku kembali. Saat sampai di taman alang-alang, semakin kutingkatkan kecepatan lariku dengan nafas yang tersengal.
Saat sampai di tempat persembunyian barang-barangku, aku menyimpan tas punggungku ala kadarnya, dan aku bisa melihat beberapa isinya tumpah keluar, tetapi aku tidak peduli. Rasa takut bercampur dengan rasa bersalah yang semakin menjadi-jadi membuatku nafasku tercekat. Aku mendekati daun pintu belakang rumahku bersiap untuk menghadapi kemarahan ayah dan ibu. Sesaat kudengar beberapa suara menakutkan dari dalam rumah. Tidak salah lagi, mereka sedang mencariku. Kuusapkan telapak tanganku yang penuh keringat ke atas celana jeans usangku dan mencoba untuk kembali memegang gagang pintu yang baru beberapa menit yang lalu kututup secara perlahan.
Keringat dingin jatuh dari pelipisku dan jari-jariku yang saat ini menggenggam gagang pintu perlahan berubah menjadi batu. Ada apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa aku berubah jadi batu seperti ini? Aku menjerit tertahan melihat separuh tanganku yang kini berubah menjadi batu dengan cepat dengan mata berkaca-kaca. Apakah ayah dan ibu mengutukku karena berani kabur dari rumah? Oh, Tuhan, tolonglah aku. Sambil sedikit menangis terisak kupandangi kaki bersendal jepit sebelah kiriku yang juga telah berubah jadi batu. Aku pun semakin takut dan menjerit meminta maaf dengan memanggil ibu dan ayahku. Tapi perubahan itu tetap terjadi semakin cepat, dan saat perubahan itu mencapai pangkal leherku, aku hanya bisa pasrah.
Ku pejamkan mataku erat-erat menyesali semua perbuatanku yang tidak kupikirkan panjang lebar terlebih dahulu itu. Di tengah kegelapan dan kesunyian yang semakin menyelimutiku aku menangis tertahan hingga rasanya tenggorokanku sakit sekali. Lidahku menjadi kelu dan semua tubuhku merasa sakit. Tiba-tiba kurasakan sentakan keras di pundakku. Seketika dunia yang cerah kembali ke hadapanku.
"Kenapa menjerti-jerit begitu?" tanya sebuah suara dengan sosok yang mengabur memegangi pundakku.
"Ayo, mandi dulu sana. Sekarang kan hari pertama masuk sekolah, nanti kamu tidak dapat bangku depan kalau tidak segera bersiap," balasnya lagi sambil pergi menjauhiku hingga suaranya terdengar sayup-sayup.
Perlahan-lahan arus darah yang deras mengalir ke otakku dan menutup alam bawah sadarku yang membuka lebar sebelumnya. Dengan sangat jengkel aku pun mengerang seperti orang kesakitan...
"Uhh, mimpi sialan!".


[The End]    
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramuan Drama Cinta - Clara Ng

The Kingdom Out of Nowhere (Chapter I)

Jampi-Jampi Varaiya - Clara Ng