The Kingdom Out of Nowhere (Chapter VI)

Keesokan harinya, jadwal yang padat dan cuaca berawan menungguku yang sedang termangu di depan pintu rumah sambil memandangi ponsel yang berdering nyaring. Tidak tertera nama yang ku kenal, melainkan sebuah panggilan yang datang dari nomor tidak dikenal. Ku tekan tombol ponsel berwarna hijau dan mulai mendekatkannya ke telingaku sambil berjalan menuruni tangga depan menuju halaman parkir.
“Ya, halo. Ada yang bisa dibantu?” ucapku sambil membuka pintu mobil dan memasukkan tas kerjaku ke dalam.
“Oh, hai. Bagaimana kabarmu? Syukurlah kau mau mengangkat telponnya.” Tubuhku yang sedari tadi sibuk mendengarkan suara di seberang telpon membeku secara mendadak sesaat setelah aku mulai mengenali suara itu. Oh, Tuhan. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa dia tau nomorku? Dan apa yang dia inginkan? Oh, tidak..tidak.. Dia tidak boleh sampai curiga sedikitpun. Rencanaku bisa hancur berantakan.
“Eehm. Hai, ini Clara. Maaf, tapi siapa ini?”
“Oh ya ampun, aku terlalu senang sampai lupa mengucapkan nama. Ini Kathrina, kau ingat? Oh, sepertinya kau tidak ingat namaku karena dulu saat kita bertemu aku belum memperkenalkan diriku padamu. Bagaimana dengan ini, ehm.. apa kau ingat dengan orang yang menolongmu saat mobilmu mogok di jalanan menuju Pucha?”.
“Oh, hai, tentu saja aku ingat denganmu. Terimakasih karena sudah mau membantuku saat itu. Kau benar-benar mebantuku.”
“Tidak masalah, aku senang bisa bertemu denganmu. Oh, ngomong-ngomong, aku mau menagih janjimu dulu. Kau bilang mau membalas bantuanku kan?”.
“Oh, ada apa ini? Tiba-tiba saja setelah mengatakan senang bisa membantuku kau meminta sesuatu? Haha. Well, tidak masalah. Aku akan membalasnya sebaik mungkin, jadi apa yang bisa kubantu?”.
“Ppfft..., kau jujur sekali. Maaf ya karena aku meminta balas budi dengan cara seperti ini. Sebenarnya aku hanya ingin bertemu denganmu lagi. Apa nanti kau ada di klinik?”.
“Ya, tentu. Nanti aku akan bertugas di klinik sampai kira-kira jam 5 sore. Apakah kita akan bertemu setelah itu? Atau di sela-sela waktu istirahat siang?”.
“Well, tidak perlu pergi kemana-mana, tunggu saja di sana. Aku akan datang ke klinik nanti. Kalau begitu nanti akan kuhubungi lagi, bye. Senang sekali bisa berbicara denganmu.”
Apa-apaan gadis ini? Tiba-tiba menelpon di waktu yang tidak wajar, lalu mengoceh seakan kami sering bercakap-cakap di telpon sebelumnya, dan sekarang dia memutuskan telpon begitu saja tanpa mendengar jawabanku terlebih dahulu. Ini benar-benar menyebalkan dan mengganggu. Apa yang harus kulakukan jika nanti dia bertanya macam-macam? Apa jangan-jangan dia sudah sadar siapa aku sebenarnya dan mengancamku untuk segera meninggalkan tempat ini? Orang yang sok ceria seperti dia memang terkadang bisa berlaku sangat kejam. Aku tidak akan heran jika nanti dia berteriak-teriak memintaku segera pergi dari sini. Well, apapun yang terjadi nanti aku tidak akan kalah. Sudah sejauh ini aku melangkah, bahkan sekarang nyawa Mrs. Smith pun dipertaruhkan. Tidak akan kubiarkan orang seperti mereka seenaknya saja memperlakukan kami semena-mena.
            Dengan tekad bulat yang sedikit rapuh karena berbagai hal, aku pun segera melajukan mobil menuju klinik. Hari ini jadwalku sangat padat karena sekarang adalah waktu yang disediakan untuk jam kunjungan pasien rutin. Aku harus memeriksa setidaknya 5 orang pasien kontrol selain pasien yang datang hari ini ke klinik sebelum jam istirahat siang. Tidak berapa lama kemudian mobilku memasuki pelataran klinik. Setelah memarkirkannya dengan baik aku pun melangkah menuju ke ruanganku dengan menjinjing tas kerja yang terasa berat karena bekal yang dibawakan bibi tadi pagi. Tidak seperti biasanya, pagi ini bibi membuatkan bekal untukku karena ia merasa tubuhku semakin kurus. Dia bilang aku kurang asupan makanan yang bergizi dan tidak makan secara teratur karena terlalu sibuk dengan pasien, padahal selama ini aku selalu makan secara teratur. Tapi mungkin bibi ada benarnya, karena beberapa hari terakhir setelah insiden hilangnya Mrs. Smith aku merasa tidak mempunyai nafsu untuk makan, jadi terkadang aku melewatkan jam makan siangku dengan bekerja memeriksa pasien yang lain. Sesampainya di lobi klinik aku bertemu dengan Lenna yang menyambutku dengan senyum manisnya.
“Selamat pagi dok, anda terlihat cantik pagi ini.” ucap Lenna sambil berkedip.
“Apa maumu? Huh.” balasku berpura-pura sebal.
“Bukan hari ini saja aku cantik, tetapi setiap hari aku selalu cantik. Bukankah begitu?” tambahku sambil menggoda Lenna yang tertawa lebar mendengar celetukanku.
Yes, indeed.” sahut Jackson yang tiba-tiba saja lewat di dekat kami. Aku menyapanya dan dia memelukku erat. Jackson sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Saat masa-masa awal aku bekerja di klinik, dia banyak membantuku melewati berbagai macam kesulitan dalam menghadapi pasien dan penyakitnya. Dia selalu siap mendengarkan segala keluh kesahku dan membantu sebisa mungkin, seperti seorang kakak laki-laki yang bisa diandalkan. Dia bahkan pernah mengundangku untuk makan malam bersama keluarganya. Istrinya benar-benar cantik dan anak-anaknya begitu menggemaskan. Entah bagaimana Jackson bisa seberuntung itu mendapatkan istri dan anak-anak yang begitu baik. Aku merasa sedikit iri dengan keluarga kecil mereka, karena tiba-tiba saja aku teringat ibuku yang meninggalkanku dan ayah sendiri sudah sejak sekian lama.
“Terimakasih, Jack. Kau memang yang terbaik.” Balasku kepadanya sambil mendorongnya pergi. Aku segera menuju ruanganku dengan Lenna yang sudah menyiapkan berkas-berkas pasien yang akan berkunjung hari ini.
“Terimakasih Lenna. Hari ini sepertinya akan sedikit lebih sibuk dari biasanya. Mari kita bekerja sebaik mungkin untuk hari ini. Oh ya, satu lagi, mungkin nanti ada seorang perempuan muda yang akan mencariku jadi tolong antarkan dia langsung ke ruanganku, Oke?”
“Baik dok! Serahkan semuanya kepada saya!” jawabnya sambil berlalu keluar.
“Hemm, oke. Tenangkan pikiran, hadapi semua hal hari ini dengan tenang, dan semuanya pasti akan baik-baik saja.” ucapku pada diri sendiri saat Lenna telah pergi.
            Waktu pun berlalu sedikit demi sedikit merayap melewatiku yang sedari tadi memandangi jam dinding di ruangan kecil ini sambil melayani setiap pasien yang datang untuk memeriksakan kesehatan mereka. Beberapa dari pasien yang datang hari ini terkena penyakit demam dan flue biasa karena sekarang memang masa-masa pergantian musim yang biasa melemahkan sistem imun manusia. Sementara yang lain juga mengalami kondisi yang tidak terlalu berbahaya, jadi aku hanya perlu meresepkan beberapa obat untuk mereka. Namun, banyaknya pasiean yang tidak biasa ini membuat staminaku terkuras. Hampir waktu istirahat dan aku sekarang sedang bersama pasien terakhirku untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah. Kurasa semuanya normal dan ia bisa pulang untuk hari ini dengan resep yang sudah kutuliskan. Akhirnya setelah pasien terakhirku keluar dan Lenna masuk ke dalam ruanganku, aku bisa menarik nafas panjang dan meregangkan tubuhku yang sedari tadi duduk di kursi.
“Oh, ya ampun. Tubuhku pegal-pegal sekali hari ini.”
“Ya, itu bisa dimengerti dok. Pasien yang datang hari ini meningkat 30% dari biasanya. Memang benar kata anda tadi bahwa hari ini akan jadi hari yang sibuk.”
“Tentu saja, itu karena beberapa hari yang lalu sudah mulai turun hujan. Dan cuaca di luar pun tidak menentu. Di masa-masa seperti inilah jumlah pasien akan lebih meningkat daripada biasanya.”
“Ya, itu benar sekali dok. Tidak terasa musim hujan akan segera datang. Rasanya baru kemarin saya masuk ke klinik ini di tengah terik matahari yang menyengat dan membakar kulit.”
“Hahaha.. itu benar. Waktu berlalu begitu cepat, dan aku mulai kehabisan waktu.”
“Apa maksud anda?”
“Hemm, tidak.. tidak.. aku hanya bergumam pada diriku sendiri tadi. Sudahlah, ayo kita makan bersama. Aku membawa banyak bekal dan tidak akan mungkin bisa menghabiskannya sendirian. Kau tau kan bibiku itu benar-benar peduli kepada keponakannya.”
“Mrs. Stewart memang bibi yang penuh perhatian,” balas Lenna dengan senyum lebar.
Aku mengambil bekal dan mengajak Lenna berjalan menuju kantin. Di sana kami bergabung dengan dokter dan petugas lain yang sedang makan siang. Memang di klinik sudah disediakan kantin yang sehat, namun sebagaimana semua makanan sehat yang diberikan untuk pasien, rasanya tidak terlalu cocok di lidahku. Jadi, dokter dan petugas yang bekerja disini terbiasa membawa bekal, membeli makanan take away di tempat lain saat berangkat, atau menghabiskan waktu istirahat makan siang dengan makan di luar klinik.
            Saat makan bersama dengan Lenna dan dokter yang lain, aku merasa ada perasaan aneh yang tiba-tiba menggelayuti pikiranku. Sepertinya ada yang menatapku terus-terusan dari arah luar kantin klinik yang dibatasi dengan kaca dari bagian luar. Namun, sejauh mata memandang tidak ku temukan siapapun yang sedang mengawasiku. Aku mulai berpikir bahwa Kathrina sudah datang, tapi ini tidak seperti auranya yang ceria dan sedikit mengganggu. Lebih seperti seseorang yang tenang dan kuat, terlalu kuat untuk ditutupi dengan trik apapun. Kenapa hari ini sepertinya semua orang ingin mampir ke klinik. Ini bukan seperti klinik sedang merayakan peringatan apa-apa hingga semua orang diundang untuk datang. Seperti halnya keberadaan yang tidak tampak, perasaan itu terus mengkontaminasi pikiranku sampai saat makan siang selesai. Aku dan Lenna memutuskan untuk segera kembali ke ruangan menanti waktu berkunjung pasien rutin yang akan segera tiba dengan keinginan untuk segera beralih dari area kantin yang menyesakkan secepatnya.
“Dokter Clara, kau bilang seseorang akan datang hari ini? Apa dia akan datang untuk memeriksakan kesehatanya?”
“Ah, entahlah. Aku lupa tentang hal itu, tetapi sepertinya dia hanya datang untuk menemuiku saja.”
“Oh, aneh sekali. Kenapa tidak bertemu di luar klinik saja. Bukankah lebih nyaman jika berbicara di luar jam kerja?”
“Ya, benar. Aku sudah menyarankannya untuk bertemu setelah aku pulang bekerja tetapi dia bilang aku hanya harus menunggu di klinik saja.”
“Apakah dia temanmu sekolah? Sepertinya kalian akrab.”
“Darimana kau dapat ide seperti itu? Kami akarab? Apa maksudnya?”
“Tidakkah begitu? Oh, maafkan aku dok. Aku kira kalian berdua sudah saling mengenal dengan baik karena dia seperti tidak masalah jika harus bertemu dimana pun. Kurasa orang yang belum terlalu akrab akan berusaha bertemu di tempat yang nyaman agar bisa semakin dekat satu sama lain, tapi klinik jelas bukan tempat seperti itu. Oh, tolong maafkan aku dok.”
“Tidak apa-apa Lenna. Sudah kubilang kalau tidak ada pasien kau tidak perlu berbicara formal kepadaku bukan? Kita kan seumuran. Lagipula tanggapanmu tadi tidak ada salahnya. Aku juga merasa dia sok akrab denganku, hahaha.”
“Oh, bukankah sudah kubilang bila aku akan bersikap profesional selama jam kerja dokter. Jadi, jangan paksa aku memanggilmu langsung.”
“Ah, benar-benar kaku sekali.” balasku sambil menggeleng kepada Lenna. Kami sudah sering membahas masalah ini sebelumnya dan hasilnya memang tetap saja. Lenna tidak mau kehilangan profesionalitasnya dalam bekerja hanya karena sudah akrab dengan semua orang. Kurasa itulah yang membuatnya terlihat sebagai perawat yang berdedikasi dan dapat diandalkan.
Sisa jam kerjaku siang itu kuhabiskan dengan memberikan konsultasi dan pemeriksaan kepada beberapa pasien yang melakukan kontrol kesehatan. Selebihnya tidak terlalu banyak yang datang lagi, jadi aku bisa sedikit santai. Orang-orang di daerah sekitar memang lebih suka beraktivitas di pagi hari hingga siang, jika sore seperti ini mereka lebih banyak beristirahat di rumah atau melakukan kegiatan sosial yang lainnya. Tidak begitu banyak yang harus dilakukan sehingga aku bisa lebih bersantai menanti jam kerjaku selesai. Tapi tentu saja, sekuat apapun aku memungkiri bahwa aku menantikan kehadirannya, tetap saja aku terus menatap pelataran parkir yang berada di sebelah ruanganku dari balik tirai jendela berkali-kali. Kenapa tidak datang-datang? Jam kerjaku sudah hampir habis. Telponku juga tidak berdering sama sekali dari tadi. Apa dia sengaja mempermainkanku? Ahh, kenapa aku harus repot-repot memikirkannya, keluhku dalam hati. Bagaimanapun, jam kerjaku tinggal 30 menit lagi sekarang dan ia sama sekali belum menampakkan batang hidungnya.
Tidak beberapa lama kemudian Lenna masuk dan mulai membantuku membereskan beberapa berkas pasien yang tersisa. Sesekali ia menatapku dengan tatapan penuh tanya yang sedikit lucu. Dan aku menatapnya kembali dengan tatapan luguku yang khas, ‘ada apa?’, hahaha. Ini sedikit mengejutkan karena kami baru bekerja bersama selama kurang lebih 2 bulan namun kami sudah mulai bisa berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan telepati. Aku menyebutnya telepati karena memang terkadang kami hanya perlu saling menatap tanpa berucap sepatah kata pun untuk memahami satu sama lain. Mungkin ini dikarenakan kami punya banyak kesamaan baik dalam hal-hal yang disukai maupun yang tidak disukai sehingga lebih cepat bagi kami untuk bisa beradaptasi satu sama lain. Bahkan kurasa dia sebenarnya ingin sekali menanyakan kepadaku mana orang yang kunanti-nanti hingga sampai sekarang belum datang, tapi mungkin ia merasa kasihan melihatku seperti orang yang kecewa karena batal bertemu dengan seorang teman. Benar-benar berkebalikan dengan kenyataan yang kurasakan sekarang, atau setidaknya begitulah kata-kata yang terus kuulangi di dalam pikiranku. Aku tidak ingin dia datang, lebih baik tidak usah datang, akan sangat baik jika dia tidak jadi datang.

Dan sepertinya dia memang tidak jadi datang, karena bahkan sampai aku berjalan menuju ke mobilku sekarang pun tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Itu bagus, pikirku sambil membuka pintu mobil dan memasukkan tasku seperti biasa sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan melajukannya menuju rumah. Kurasa hari ini aku akan mampir ke rumah Mrs. Smith untuk melihat perkembangan penyelidikan polisi yang ada di sana. Aku cukup merasa bersalah hingga tidak bisa behenti khawatir terhadap keadaan Mrs. Smith yang malang. Sesampainya di dekat rumah Mrs. Smith aku memastikan tidak ada mobil satupun yang terlihat terlalu mencolok dan tidak berada di tempatnya, dan syukurlah semuanya terlihat seperti biasanya.
Aku segera menepikan mobilku di tepi jalan dan keluar menuju opsir yang berjaga di depan rumah Mrs. Smith. Kucoba mencari opsir yang biasa kutemui sebelumnya saat ke sini namun sepertinya ia sedang tidak bertugas hari ini. Aku menyapa seorang opsir yang ada di dekat halaman rumah Mrs. Smith dan memperkenalkan diriku secara sekilas. Kami berbincang sedikit mengenai keadaan rumah dan lingkungan sekitar rumah Mrs. Smith dan kabar berita keberadaan Mrs. Smith yang masih menjadi teka-teki. Dengan putus asa aku kembali ke mobil karena hasil penyeledikan polisi juga sama sekali tidak membuahkan hasil yang berarti. Dan bahkan, mereka akan segera menghentikan penjagaan rumahnya dan melanjutkan penyelidikan dari kantor pusat. Kurasa akan sangat sulit bagi polisi biasa seperti mereka untuk menemukan Mrs. Smith jika memang benar yang dikatakan Mrs. Grundeweld minggu lalu. Aku harus segera membantu mencarinya, tetapi mereka tidak segera datang, padahal aku butuh bantuan mereka untuk melakukan pencarian ini. Kurasa tidak lama lagi mereka akan datang, karena e-mail konfirmasinya pun sudah sampai kepadaku.
 Saat aku akan melangkahkan kaki ke dalam mobil, terdengar suara klakson dari arah belakang. Suara klakson yang cukup keras dan berulang-ulang hingga aku memutuskan untuk menolehkan kepala ke sumber suara. ‘Oh my God’, ucapku dalam hati. Ini benar-benar kejadian yang tidak terduga. Sesaat kemudian mobil itu berhenti tepat di belakang mobil kecilku yang terlihat semakin memilukan bersanding dengan mobil sebagus itu. Oh tidak, orang yang kutunggu-tunggu sedari tadi akhirnya tiba juga di tempat dan waktu yang benar-benar tidak tepat.
“Hai, Clara.” sapa gadis cantik super modis yang baru saja keluar dari kursi kemudi.
“Oh, halo. Selamat sore.” balasku mencoba bersikap ramah kepadanya. Gadis itu pun mendekat ke arahku dengan langkah anggun dan sepertinya bukan hanya aku yang bersikap agak kikuk mendapatinya di tengah jalan seperti ini.
“Hai. Maaf aku tidak sempat pergi ke klinik tadi? Apakah kau ada waktu sebentar hari ini?”
“Oh, tentu saja. Apa ada yang bisa kubantu nona Kathrina?”
“Kumohon panggil saja Kathrina, oke? Aku bahkan sudah memanggilmu Clara, jadi ini agak sedikit aneh... kau tau, ehm.. awkward.” kurasa dia memang benar. Mendengar diriku sendiri menyapanya Miss membuatku merasa aneh.
“Tentu. Mari kita ulangi lagi, oke? Apa ada yang bisa kubantu Kathrina?”
“Terdengar lebih baik, terimakasih. Ehm, bisakah kita membicarakannya di tempat lain? Kau tau, tempat ini membuatku tidak nyaman.” Gumamnya sambil sesekali melirik ke arah rumah Mrs. Smith.
“Itu ide yang bagus. Mari kita bicara di tempat yang lain. Bagaimana dengan ‘Galvanos’? Mereka punya tempat yang lumayan nyaman dan kupikir kita bisa sekaligus makan malam bersama, jika tidak keberatan?” Oh bodoh sekali aku, kenapa malah mengucapkan tempat tanpa berpikir terlebih dahulu. Hanya karena Galvanos adalah tempat makan favoritku bukan berarti aku harus mengajaknya kesana. Jika kami sudah terlanjur berada di sana kurasa kami tidak hanya akan berbicara sebentar, melainkan berbicara dalam waktu yang sangat lama. Sebelum sempat kutarik ucapanku, terdengar jawaban yang sedikit terlalu antusias dari Kathrina.
“Bolehkah? Tentu saja, itu ide yang brilian. Ayo kita kesana!”.
Sedetik kemudian ia sudah ada di dalam mobil dan membunyikan klakson kepadaku yang tidak bergeming dari tempatku berdiri semula. Aku pun segera masuk ke mobil dan melajukannya menuju ke Galvanos. Bagus, kau membunuh dirimu sendiri Clara, ucapku dalam hati. Dasar idiot! Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku merutuki ajakanku yang terlalu beresiko ini. Aku harus segera menyiapkan mental karena bagaimanapun kondisinya aku tidak boleh terpengaruh. Ada hal lebih besar di sini yang perlu ku selesaikan dan aku tidak mungkin pergi dari sini lagi, tidak lagi.
Sesampainya di Galvanos, aku segera memarkir kendaraanku lalu mengambil dompet dari dalam tas kerja serta ponsel yang beberapa waktu lalu berdering. Sepertinya ada sms masuk dan aku belum sempat memeriksanya. Sambil memeriksa sms yang masuk aku menyempatkan untuk menulis pesan kepada ayah bahwa aku akan makan di luar hari ini, jadi mereka bisa makan duluan tanpa aku. Kulihat Kathrina sudah menungguku di dekat mobilnya, dan aku pun segera menuju ke arahnya. Dia tersenyum riang seperti seorang teman lama yang sangat menantikan pertemuan ini. Dia sangat cantik ketika tersenyum seperti itu, bahkan ketika tidak tersenyum pun dia sudah terlihat cantik. Tidak heran jika semua pria menyempatkan diri untuk memandangi saat berlalu di dekatnya. Kira-kira 15 langkah sebelum aku sampai di hadapannya, angin kencang menerpa tubuhku secara tiba-tiba dan area parkir yang sedari tadi terlihat lengang, kini dipenuhi suara gemeretak tiang-tiang rapuh yang bertabrakan dengan angin keras. Sesaat kemudian timbul perasaan yang sama seperti saat aku makan di kantin waktu istirahat siang tadi, perasaan yang kuat dan dingin. Bulu kudukku meremang dan secara otomatis aku melihat sekelilingku. Tidak ada orang yang mencurigakan sama sekali, semua orang nampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan ingin segera sampai di mobil karena angin yang menusuk tulang menghempaskan baju-baju mereka yang lusuh. Aku mengarahkan perhatianku kembali kepada Kathrina yang tampak melihat ke arah kanan pelataran parkir yang berbatasan dengan lahan kosong yang sedang dibangun untuk dijadikan tempat makan baru. Namun sejauh mata memandang, tidak ada siapa-siapa di sana, karena kegelapan malam yang mulai merayap menutupi seluruh lahan tanpa penerangan itu. Aku merasa Kathrina sedang memandang ke arah seseorang namun aku tidak melihat siapapun, jadi kuputuskan untuk segera menghampirinya.
“Hai, ayo masuk ke dalam. Sepertinya akan turun hujan karena anginnya tiba-tiba berhembus terlalu kencang.”
“Ah, iya itu benar.” balasnya sambil mencoba kembali tersenyum dari ekspresinya sebelumnya yang sekilas terlihat kesal.
Kami pun segera masuk ke dalam dan aku memilihkan tempat yang terlihat nyaman bagi kami berdua untuk bercakap-cakap. Kami memutuskan untuk memesan beberapa makanan karena sepertinya kami berdua memang sedang lapar. Sudah lama aku tidak pergi dengan seorang teman dan makan di luar seperti ini. Biasanya sepulang kerja aku langsung pulang ke rumah dan makan bersama keluargaku. Terakhir kali mungkin 2 minggu yang lalu ketika aku makan bersama dengan Cassie dan Matt setelah mengantar mereka berbelanja beberapa keperluan bayi. Aku tidak sabar menantikan kehadiran Ted kecil yang sangat disayangi orang tuanya itu. Bahkan mereka berencana membuatkannya sebuah lagu. Ah, benar-benar aneh dan berlebihan pikirku, tapi sepertinya mereka memang sangat menanti-nantikan bayi pertama mereka. Melihat mereka berdua bersama saja sudah seperti sebuah keajaiban bagiku. Lamunanku buyar ketika Kathrina mulai mengajakku berbicara.
“Ehm, apa ada yang mengganggu pikiranmu? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu.”
“Oh, tidak.. tidak.. Bukan hal penting. Oh iya, Kathrina ceritakan tentang dirimu. Aku rasa kau sudah tau banyak tentang aku tapi aku sama sekali tidak tau apa-apa kecuali namamu tentu saja.”
“Oh, benarkah? Aku hanya tau kau bekerja di klinik dan namamu saja.”
“Aku malah tidak pernah melihatmu di sekitar sini sebelumnya. Jadi, apa kau tinggal di daerah ini? Apa pekerjaanmu?”
“Apa kau merasa penasaran denganku?”
“Hemm, tentu saja. Bukankah kita memutuskan untuk saling mengenal dengan bertemu seperti ini. Apakah kau keberatan?”
“Tentu saja tidak. Aku sangat.. sangat.. senang karena kau mau bertemu denganku.”
Well, itu sedikit aneh. Kenapa kau sangat senang bisa bertemu denganku?”
“Mm-maksudku, aku senang karena bisa bertemu denganmu lagi karena kita bertemu secara kebetulan di jalanan, dan bertemu denganmu lagi membuatku merasa telah melakukan kebaikan sekaligus membuatku sadar bahwa aku tidak bermimpi saat itu.”
“Ah..., begitukah? Kalau begitu... sekarang aku akan mendengarkan ceritamu.”
“Hahaha, kau terlihat seperti seorang pendengar yang baik.”
“Tentu saja, semua temanku selalu menganggapku sebagai tempat curhat terbaik mereka.”
“Sepertinya itu memang benar. Baiklah, mari kita mulai perkenalannya. Aku Kathrina Wright dan aku berasal dari Brighton City. Aku bekerja sebagai seorang sekretaris di sana dan aku kemari untuk beberapa urusan karena perusahaan tempatku bekerja baru saja membuka perusahaan cabang di sini. Jadi, sebenarnya aku tidak tinggal di Mica.”
“Wow, apakah kau bekerja di Clayford? Kudengar mereka baru saja membuka perusahaan baru di daerah sini.”
“Ya, benar sekali. Bagaimana bisa kau tahu di mana aku bekerja?”
“Oh, yang benar saja, tidak ada yang bisa disembunyikan di Mica. Semua orang selalu membicarakan hal sekecil apapun yang terjadi di sini. Sangat sulit untuk tidak mendengarkannya apalagi aku bekerja di klinik di mana semua orang selalu bergosip di ruang tunggunya.”
“Pffttt... benarkah? Kurasa sumber informasi sekarang ini tidak hanya bisa didapat melalui media elektronik saja.”
“Itu benar. Kau akan terkejut melihat seberapa cepat sebuah berita tersampaikan ke seluruh orang di daerah ini hanya dalam waktu beberapa menit.”
“Ini terdengar menjanjikan. Kurasa aku akan mempertimbangkan melakukan promosi lisan seperti itu.”
“Itu hal yang sangat efektif. Kau bisa menyampaikan produkmu dengan lebih cepat melalui orang-orang, terutama ibu-ibu yang terlihat seperti reporter televisi.”
Kami tertawa mendengar kata-kata terakhirku yang memang terlalu menggelikan untuk dibiarkan begitu saja. Beberapa saat kemudian makanan kami datang dan kami terlarut dalam obrolan kami mengenai pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang aneh sama sekali dengan Kathrina. Dia bercerita segala hal yang terjadi di lingkungan kerjanya dengan antusias dan aku sangat mengerti bahwa dengan kecepatan bercerita yang seperti itu sudah jelas dia mengatakan hal yang sebenarnya tanpa menutupinya sedikitpun. Kurasa apa yang ku khawatirkan tidak akan terjadi hari ini. Tetapi, sejelas perasaan tidak nyaman yang terus mengikutiku sejak tadi, sejelas itu pula lah siapa Kathrina yang sebenarnya. Mereka tidak akan membiarkanmu berjalan-jalan sendirian begitu saja bukan? Itu benar, Kathrina, mari kita berteman dan saling membantu satu sama lain. Tidak ada salahnya berteman dengannya karena dia sangat jujur dan terbuka. Akan lebih baik lagi jika dia bisa jujur mengenaiku. Dia mungkin sebenarnya sudah mengenaliku sejak lama, namun sepertinya dia tidak ingin membuatku sadar akan hal itu.
“Oh ya, apakah kau bekerja dengan banyak orang di sini? Kurasa akhir-akhir ini banyak mobil yang terlalu bagus berseliweran di Mica. Itu benar-benar hal yang tidak biasa menurut bibiku.”
“Hemm, mungkin. Beberapa orang dari perusahaan kami menggunakan mobil yang memang dipinjamkan oleh perusahaan dan tentu saja mobil itu sengaja dikeluarkan untuk menarik minat masyarakat terhadap perusahaan kami. Memang, di sini produksi kami berfokus pada kendaraan-kendaraan yang dikhususkan untuk lebih membantu di bidang pertanian tetapi bukan berarti kami meninggalkan kualitas desain khas Clayford yang anggun dan mewah. Beberapa orang di sini secara mengejutkan telah menjadi sangat kaya kau tau.”
“Hahaha, kurasa kau benar. Mereka kaya namun mereka sama sekali tidak menghambur-hamburkannya. Itulah kenapa desa ini tampak seperti jauh dari kemajuan teknologi di kota-kota besar.”
“Oh, melihat cara bicaramu sepertinya kau tidak berada di sini sebelumnya?”
“Ah, sebenarnya aku baru saja pindah kesini sama seperti dirimu. Aku dulu tinggal di Manhattan dan bekerja di sana, tetapi karena suatu hal aku harus kembali ke Mica. Sebenarnya aku lahir di sini dan pindah saat usiaku sekitar 12 tahun.”
Aku mencoba mencari petunjuk di antara ekspresinya saat mendengarkan kisahku, dan sepertinya aku berhasil menangkap sedikit rasa terkejutnya. Dia mungkin sudah mengantisipasi hal ini, tapi terlalu kaget untuk mendengarkannya langsung dari mulutku. Tapi, dia memilih bungkam dan tidak mengomentari ucapanku, jadi kurasa dia masih ingin menyembunyikannya. Tidak masalah bagiku, aku akan mengikuti permainannya untuk saat ini. Lagipula, aku bisa mendapat banyak informasi darinya.
Waktu sepertinya berlalu lebih cepat kali ini karena tanpa di sadari kami telah menghabiskan waktu 2 jam saling menceritakan hal-hal acak yang tiba-tiba saja terlintas. Kathrina tidak bertanya lebih jauh tentang diriku dan akupun tidak ingin memaksanya untuk menceritakan segala hal tentang dirinya, jadi kami secara spontan mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang sedang hangat dibicarakan. Bercakap-cakap dengannya tidak bisa dibilang melelahkan, sebenarnya ini menyenangkan. Jalan pikirannya yang sedikit berbeda dari orang-orang membuatku merasa senang mendengarkan pendapat-pendapatnya itu. Dia terlihat seperti seorang gadis muda yang manja namun dia terlihat bisa diandalkan dan berpikiran jauh ke depan. Sepertinya topik yang akan kami bahas tidak akan pernah habis, jadi aku harus mencari cara untuk mengakhirinya. Tetapi rupanya Kathrina juga mempunyai urusan lain yang harus dikerjakan.
“Oh, maafkan aku. Aku sangat senang berbicara denganmu hingga lupa waktu seperti ini. Sebenarnya aku ada janji bertemu dengan seseorang, jadi kurasa aku harus pergi sekarang.”
Well, tidak masalah. Aku juga harus pulang sekarang, senang sekali bisa bercakap-cakap denganmu Kathrina.”
“Aku yang seharusnya berterimakasih karena kau sudah mentraktirku. Jangan berpikir karena hutangmu sudah lunas maka kita tidak akan bertemu lagi ya, kita harus menyempatkan waktu untuk bertemu lagi di lain hari.”
“Tentu saja. Kau bisa menghubungiku kapanpun. Aku akan menyesuaikan jadwalnya.”
“Itu bagus. Aku akan segera menghubungimu lagi.” balasnya sambil tersenyum riang di depanku. Kami segera keluar dan berpisah di halaman parkir.
Kulihat dia melajukan mobilnya menjauh dan melambai ke arahku, aku pun melambaikan tangan membalasnya hingga mobil yang ditumpanginya berbelok di ujung jalan. Sedetik kemudian kurasakan perasaan dingin dan kuat itu semakin meningkat, hingga rasa-rasanya berjalan menghampiriku dengan cengkeraman setajam cakar elang. Kurasakan dengan jelas seseorang berdiri memandangiku di sebelah mobil terujung dekat dengan lahan kosong yang sebelumnya dipandangi Kathrina. Aku tidak berani memandanginya lebih lama, lebih tepatnya aku tidak boleh memandanginya terlalu lama karena dia bisa curiga. Aku segera masuk ke dalam mobil dan memastikan pintunya terkunci erat  sebelum melajukannya kembali menuju rumah. Sekelebat bayangan muncul di samping kanan mobilku dan secara tiba-tiba perasaan mengancam itupun sirna digantikan dengan hangatnya ruang di dalam mobilku yang wangi. Aku bersyukur karena bisa melewatinya dengan selamat.

Sepanjang perjalanan ke rumah aku terus siaga, menajamkan sensitivitasku ke lingkungan luar. Jalan lengang yang kulewati semakin membuatku terjaga. Aku melajukan mobilku dengan cepat hingga batasnya, meskipun jika dibandingkan dengan laju mobil Kathrina ini hanya 1/3 nya, namun aku harus cepat sampai di rumah. Ada beberapa hal yang harus kuperiksa karena sms konfirmasinya pun sudah kuterima. Mereka akan segera datang dan aku harus bersiap-siap menyambut kedatangannya. Mereka adalah teman-teman yang bisa kuandalkan kapanpun dan dimanapun aku membutuhkan bantuan. Mereka pasti bisa membantuku melewati semua ini, karena kami menjadi kuat saat bersama. Terlalu kuat untuk dikalahkan oleh orang-orang seperti Kathrina atau orang yang berada di tempat parkir tadi. Kami tidak akan menyerah dan kami pasti akan menyelesaikan misi kami dengan baik. Apalagi di sini kami punya banyak orang yang mau membantu. Kehilangan Mrs. Smith tidak akan menjadi peristiwa yang sia-sia. Kami akan berjuang sampai akhir meskipun kegiatan kami akan ditentang oleh berbagai pihak. Kuharap mereka datang lebih cepat dari waktu yang dijanjikan karena aku sudah sangat.. sangat.. merindukan mereka. Mereka adalah sekelompok keluarga kecil lain yang mau menerimaku apa adanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HOW A NEGATIVE MIND RUIN YOUR MOMENT

Senandung

Seperti Ayam yang Ingin Terbang