The Kingdom Out of Nowhere (Chapter VI)
Keesokan harinya, jadwal
yang padat dan cuaca berawan menungguku yang sedang termangu di depan pintu
rumah sambil memandangi ponsel yang berdering nyaring. Tidak tertera nama yang
ku kenal, melainkan sebuah panggilan yang datang dari nomor tidak dikenal.
Ku tekan tombol ponsel berwarna hijau dan mulai mendekatkannya ke telingaku
sambil berjalan menuruni tangga depan menuju halaman parkir.
“Ya, halo. Ada yang bisa
dibantu?” ucapku sambil membuka pintu mobil dan memasukkan tas kerjaku ke
dalam.
“Oh, hai. Bagaimana kabarmu?
Syukurlah kau mau mengangkat telponnya.” Tubuhku yang sedari tadi sibuk
mendengarkan suara di seberang telpon membeku secara mendadak sesaat setelah
aku mulai mengenali suara itu. Oh, Tuhan. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana
bisa dia tau nomorku? Dan apa yang dia inginkan? Oh, tidak..tidak.. Dia tidak
boleh sampai curiga sedikitpun. Rencanaku bisa hancur berantakan.
“Eehm. Hai, ini Clara. Maaf,
tapi siapa ini?”
“Oh ya ampun, aku terlalu senang
sampai lupa mengucapkan nama. Ini Kathrina, kau ingat? Oh, sepertinya kau tidak
ingat namaku karena dulu saat kita bertemu aku belum memperkenalkan diriku
padamu. Bagaimana dengan ini, ehm.. apa kau ingat dengan orang yang menolongmu
saat mobilmu mogok di jalanan menuju Pucha?”.
“Oh, hai, tentu saja aku ingat
denganmu. Terimakasih karena sudah mau membantuku saat itu. Kau benar-benar
mebantuku.”
“Tidak masalah, aku senang bisa
bertemu denganmu. Oh, ngomong-ngomong, aku mau menagih janjimu dulu. Kau bilang
mau membalas bantuanku kan?”.
“Oh, ada apa ini? Tiba-tiba saja
setelah mengatakan senang bisa membantuku kau meminta sesuatu? Haha. Well, tidak masalah. Aku akan
membalasnya sebaik mungkin, jadi apa yang bisa kubantu?”.
“Ppfft..., kau jujur sekali.
Maaf ya karena aku meminta balas budi dengan cara seperti ini. Sebenarnya aku
hanya ingin bertemu denganmu lagi. Apa nanti kau ada di klinik?”.
“Ya, tentu. Nanti aku akan
bertugas di klinik sampai kira-kira jam 5 sore. Apakah kita akan bertemu
setelah itu? Atau di sela-sela waktu istirahat siang?”.
“Well, tidak perlu pergi
kemana-mana, tunggu saja di sana. Aku akan datang ke klinik nanti. Kalau begitu
nanti akan kuhubungi lagi, bye. Senang sekali bisa berbicara denganmu.”
Apa-apaan gadis ini?
Tiba-tiba menelpon di waktu yang tidak wajar, lalu mengoceh seakan kami sering
bercakap-cakap di telpon sebelumnya, dan sekarang dia memutuskan telpon begitu
saja tanpa mendengar jawabanku terlebih dahulu. Ini benar-benar menyebalkan dan
mengganggu. Apa yang harus kulakukan jika nanti dia bertanya macam-macam? Apa
jangan-jangan dia sudah sadar siapa aku sebenarnya dan mengancamku untuk segera
meninggalkan tempat ini? Orang yang sok ceria seperti dia memang terkadang bisa
berlaku sangat kejam. Aku tidak akan heran jika nanti dia berteriak-teriak
memintaku segera pergi dari sini. Well, apapun yang terjadi nanti aku tidak
akan kalah. Sudah sejauh ini aku melangkah, bahkan sekarang nyawa Mrs. Smith
pun dipertaruhkan. Tidak akan kubiarkan orang seperti mereka seenaknya saja
memperlakukan kami semena-mena.
Dengan
tekad bulat yang sedikit rapuh karena berbagai hal, aku pun segera melajukan
mobil menuju klinik. Hari ini jadwalku sangat padat karena sekarang adalah
waktu yang disediakan untuk jam kunjungan pasien rutin. Aku harus memeriksa
setidaknya 5 orang pasien kontrol selain pasien yang datang hari ini ke klinik
sebelum jam istirahat siang. Tidak berapa lama kemudian mobilku memasuki
pelataran klinik. Setelah memarkirkannya dengan baik aku pun melangkah menuju
ke ruanganku dengan menjinjing tas kerja yang terasa berat karena bekal yang
dibawakan bibi tadi pagi. Tidak seperti biasanya, pagi ini bibi membuatkan
bekal untukku karena ia merasa tubuhku semakin kurus. Dia bilang aku kurang
asupan makanan yang bergizi dan tidak makan secara teratur karena terlalu sibuk
dengan pasien, padahal selama ini aku selalu makan secara teratur. Tapi mungkin
bibi ada benarnya, karena beberapa hari terakhir setelah insiden hilangnya Mrs.
Smith aku merasa tidak mempunyai nafsu untuk makan, jadi terkadang aku
melewatkan jam makan siangku dengan bekerja memeriksa pasien yang lain.
Sesampainya di lobi klinik aku bertemu dengan Lenna yang menyambutku dengan senyum
manisnya.
“Selamat pagi dok, anda terlihat cantik pagi ini.” ucap Lenna sambil berkedip.
“Apa maumu? Huh.” balasku berpura-pura sebal.
“Bukan hari ini saja aku cantik,
tetapi setiap hari aku selalu cantik. Bukankah begitu?” tambahku sambil menggoda
Lenna yang tertawa lebar mendengar celetukanku.
“Yes, indeed.” sahut Jackson yang tiba-tiba saja lewat di dekat
kami. Aku menyapanya dan dia memelukku erat. Jackson sudah kuanggap sebagai
kakakku sendiri. Saat masa-masa awal aku bekerja di klinik, dia banyak
membantuku melewati berbagai macam kesulitan dalam menghadapi pasien dan
penyakitnya. Dia selalu siap mendengarkan segala keluh kesahku dan membantu
sebisa mungkin, seperti seorang kakak laki-laki yang bisa diandalkan. Dia
bahkan pernah mengundangku untuk makan malam bersama keluarganya. Istrinya
benar-benar cantik dan anak-anaknya begitu menggemaskan. Entah bagaimana
Jackson bisa seberuntung itu mendapatkan istri dan anak-anak yang begitu baik.
Aku merasa sedikit iri dengan keluarga kecil mereka, karena tiba-tiba saja aku
teringat ibuku yang meninggalkanku dan ayah sendiri sudah sejak sekian lama.
“Terimakasih, Jack. Kau memang
yang terbaik.” Balasku kepadanya sambil mendorongnya pergi. Aku segera menuju
ruanganku dengan Lenna yang sudah menyiapkan berkas-berkas pasien yang akan
berkunjung hari ini.
“Terimakasih Lenna. Hari ini
sepertinya akan sedikit lebih sibuk dari biasanya. Mari kita bekerja sebaik
mungkin untuk hari ini. Oh ya, satu lagi, mungkin nanti ada seorang perempuan
muda yang akan mencariku jadi tolong antarkan dia langsung ke ruanganku, Oke?”
“Baik dok! Serahkan semuanya kepada saya!” jawabnya sambil berlalu
keluar.
“Hemm, oke. Tenangkan pikiran,
hadapi semua hal hari ini dengan tenang, dan semuanya pasti akan baik-baik
saja.” ucapku pada diri sendiri saat Lenna telah pergi.
Waktu
pun berlalu sedikit demi sedikit merayap melewatiku yang sedari tadi memandangi
jam dinding di ruangan kecil ini sambil melayani setiap pasien yang datang
untuk memeriksakan kesehatan mereka. Beberapa dari pasien yang datang hari ini
terkena penyakit demam dan flue biasa karena sekarang memang masa-masa
pergantian musim yang biasa melemahkan sistem imun manusia. Sementara yang lain
juga mengalami kondisi yang tidak terlalu berbahaya, jadi aku hanya perlu meresepkan
beberapa obat untuk mereka. Namun, banyaknya pasiean yang tidak biasa ini
membuat staminaku terkuras. Hampir waktu istirahat dan aku sekarang sedang
bersama pasien terakhirku untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah. Kurasa
semuanya normal dan ia bisa pulang untuk hari ini dengan resep yang sudah
kutuliskan. Akhirnya setelah pasien terakhirku keluar dan Lenna masuk ke dalam
ruanganku, aku bisa menarik nafas panjang dan meregangkan tubuhku yang sedari
tadi duduk di kursi.
“Oh, ya ampun. Tubuhku pegal-pegal
sekali hari ini.”
“Ya, itu bisa dimengerti dok.
Pasien yang datang hari ini meningkat 30% dari biasanya. Memang benar kata anda
tadi bahwa hari ini akan jadi hari yang sibuk.”
“Tentu saja, itu karena beberapa
hari yang lalu sudah mulai turun hujan. Dan cuaca di luar pun tidak menentu. Di
masa-masa seperti inilah jumlah pasien akan lebih meningkat daripada biasanya.”
“Ya, itu benar sekali dok. Tidak
terasa musim hujan akan segera datang. Rasanya baru kemarin saya masuk ke
klinik ini di tengah terik matahari yang menyengat dan membakar kulit.”
“Hahaha.. itu benar. Waktu
berlalu begitu cepat, dan aku mulai kehabisan waktu.”
“Apa maksud anda?”
“Hemm, tidak.. tidak.. aku hanya
bergumam pada diriku sendiri tadi. Sudahlah, ayo kita makan bersama. Aku
membawa banyak bekal dan tidak akan mungkin bisa menghabiskannya sendirian. Kau
tau kan bibiku itu benar-benar peduli kepada keponakannya.”
“Mrs. Stewart memang bibi yang
penuh perhatian,” balas Lenna dengan senyum lebar.
Aku mengambil bekal dan
mengajak Lenna berjalan menuju kantin. Di sana kami bergabung dengan dokter dan
petugas lain yang sedang makan siang. Memang di klinik sudah disediakan kantin
yang sehat, namun sebagaimana semua makanan sehat yang diberikan untuk pasien,
rasanya tidak terlalu cocok di lidahku. Jadi, dokter dan petugas yang bekerja
disini terbiasa membawa bekal, membeli makanan take away di tempat lain saat berangkat, atau menghabiskan waktu
istirahat makan siang dengan makan di luar klinik.
Saat
makan bersama dengan Lenna dan dokter yang lain, aku merasa ada perasaan aneh
yang tiba-tiba menggelayuti pikiranku. Sepertinya ada yang menatapku
terus-terusan dari arah luar kantin klinik yang dibatasi dengan kaca dari
bagian luar. Namun, sejauh mata memandang tidak ku temukan siapapun yang sedang
mengawasiku. Aku mulai berpikir bahwa Kathrina sudah datang, tapi ini tidak
seperti auranya yang ceria dan sedikit mengganggu. Lebih seperti seseorang yang
tenang dan kuat, terlalu kuat untuk ditutupi dengan trik apapun. Kenapa hari
ini sepertinya semua orang ingin mampir ke klinik. Ini bukan seperti klinik
sedang merayakan peringatan apa-apa hingga semua orang diundang untuk datang.
Seperti halnya keberadaan yang tidak tampak, perasaan itu terus mengkontaminasi
pikiranku sampai saat makan siang selesai. Aku dan Lenna memutuskan untuk
segera kembali ke ruangan menanti waktu berkunjung pasien rutin yang akan
segera tiba dengan keinginan untuk segera beralih dari area kantin yang
menyesakkan secepatnya.
“Dokter Clara, kau bilang
seseorang akan datang hari ini? Apa dia akan datang untuk memeriksakan
kesehatanya?”
“Ah, entahlah. Aku lupa tentang
hal itu, tetapi sepertinya dia hanya datang untuk menemuiku saja.”
“Oh, aneh sekali. Kenapa tidak
bertemu di luar klinik saja. Bukankah lebih nyaman jika berbicara di luar jam
kerja?”
“Ya, benar. Aku sudah
menyarankannya untuk bertemu setelah aku pulang bekerja tetapi dia bilang aku
hanya harus menunggu di klinik saja.”
“Apakah dia temanmu sekolah?
Sepertinya kalian akrab.”
“Darimana kau dapat ide seperti
itu? Kami akarab? Apa maksudnya?”
“Tidakkah begitu? Oh, maafkan
aku dok. Aku kira kalian berdua sudah saling mengenal dengan baik karena dia
seperti tidak masalah jika harus bertemu dimana pun. Kurasa orang yang belum
terlalu akrab akan berusaha bertemu di tempat yang nyaman agar bisa semakin
dekat satu sama lain, tapi klinik jelas bukan tempat seperti itu. Oh, tolong
maafkan aku dok.”
“Tidak apa-apa Lenna. Sudah
kubilang kalau tidak ada pasien kau tidak perlu berbicara formal kepadaku bukan?
Kita kan seumuran. Lagipula tanggapanmu tadi tidak ada salahnya. Aku juga
merasa dia sok akrab denganku, hahaha.”
“Oh, bukankah sudah kubilang
bila aku akan bersikap profesional selama jam kerja dokter. Jadi, jangan paksa
aku memanggilmu langsung.”
“Ah, benar-benar kaku sekali.”
balasku sambil menggeleng kepada Lenna. Kami sudah sering membahas masalah ini sebelumnya
dan hasilnya memang tetap saja. Lenna tidak mau kehilangan profesionalitasnya
dalam bekerja hanya karena sudah akrab dengan semua orang. Kurasa itulah yang
membuatnya terlihat sebagai perawat yang berdedikasi dan dapat diandalkan.
Sisa jam kerjaku siang
itu kuhabiskan dengan memberikan konsultasi dan pemeriksaan kepada beberapa
pasien yang melakukan kontrol kesehatan. Selebihnya tidak terlalu banyak yang
datang lagi, jadi aku bisa sedikit santai. Orang-orang di daerah sekitar memang
lebih suka beraktivitas di pagi hari hingga siang, jika sore seperti ini mereka
lebih banyak beristirahat di rumah atau melakukan kegiatan sosial yang lainnya.
Tidak begitu banyak yang harus dilakukan sehingga aku bisa lebih bersantai
menanti jam kerjaku selesai. Tapi tentu saja, sekuat apapun aku memungkiri
bahwa aku menantikan kehadirannya, tetap saja aku terus menatap pelataran
parkir yang berada di sebelah ruanganku dari balik tirai jendela berkali-kali.
Kenapa tidak datang-datang? Jam kerjaku sudah hampir habis. Telponku juga tidak
berdering sama sekali dari tadi. Apa dia sengaja mempermainkanku? Ahh, kenapa
aku harus repot-repot memikirkannya, keluhku dalam hati. Bagaimanapun, jam
kerjaku tinggal 30 menit lagi sekarang dan ia sama sekali belum menampakkan
batang hidungnya.
Tidak beberapa lama
kemudian Lenna masuk dan mulai membantuku membereskan beberapa berkas pasien yang
tersisa. Sesekali ia menatapku dengan tatapan penuh tanya yang sedikit lucu.
Dan aku menatapnya kembali dengan tatapan luguku yang khas, ‘ada apa?’, hahaha.
Ini sedikit mengejutkan karena kami baru bekerja bersama selama kurang lebih 2
bulan namun kami sudah mulai bisa berkomunikasi satu sama lain dengan
menggunakan telepati. Aku menyebutnya telepati karena memang terkadang kami hanya
perlu saling menatap tanpa berucap sepatah kata pun untuk memahami satu sama
lain. Mungkin ini dikarenakan kami punya banyak kesamaan baik dalam hal-hal
yang disukai maupun yang tidak disukai sehingga lebih cepat bagi kami untuk
bisa beradaptasi satu sama lain. Bahkan kurasa dia sebenarnya ingin sekali
menanyakan kepadaku mana orang yang kunanti-nanti hingga sampai sekarang belum
datang, tapi mungkin ia merasa kasihan melihatku seperti orang yang kecewa
karena batal bertemu dengan seorang teman. Benar-benar berkebalikan dengan
kenyataan yang kurasakan sekarang, atau setidaknya begitulah kata-kata yang
terus kuulangi di dalam pikiranku. Aku tidak ingin dia datang, lebih baik tidak
usah datang, akan sangat baik jika dia tidak jadi datang.
Dan sepertinya dia memang
tidak jadi datang, karena bahkan sampai aku berjalan menuju ke mobilku sekarang
pun tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Itu bagus, pikirku sambil membuka
pintu mobil dan memasukkan tasku seperti biasa sebelum akhirnya masuk ke dalam
mobil dan melajukannya menuju rumah. Kurasa hari ini aku akan mampir ke rumah
Mrs. Smith untuk melihat perkembangan penyelidikan polisi yang ada di sana. Aku
cukup merasa bersalah hingga tidak bisa behenti khawatir terhadap keadaan Mrs.
Smith yang malang. Sesampainya di dekat rumah Mrs. Smith aku memastikan tidak
ada mobil satupun yang terlihat terlalu mencolok dan tidak berada di tempatnya,
dan syukurlah semuanya terlihat seperti biasanya.
Aku segera menepikan
mobilku di tepi jalan dan keluar menuju opsir yang berjaga di depan rumah Mrs.
Smith. Kucoba mencari opsir yang biasa kutemui sebelumnya saat ke sini namun
sepertinya ia sedang tidak bertugas hari ini. Aku menyapa seorang opsir yang
ada di dekat halaman rumah Mrs. Smith dan memperkenalkan diriku secara sekilas.
Kami berbincang sedikit mengenai keadaan rumah dan lingkungan sekitar rumah
Mrs. Smith dan kabar berita keberadaan Mrs. Smith yang masih menjadi teka-teki.
Dengan putus asa aku kembali ke mobil karena hasil penyeledikan polisi juga
sama sekali tidak membuahkan hasil yang berarti. Dan bahkan, mereka akan segera
menghentikan penjagaan rumahnya dan melanjutkan penyelidikan dari kantor pusat.
Kurasa akan sangat sulit bagi polisi biasa seperti mereka untuk menemukan Mrs.
Smith jika memang benar yang dikatakan Mrs. Grundeweld minggu lalu. Aku harus
segera membantu mencarinya, tetapi mereka tidak segera datang, padahal aku
butuh bantuan mereka untuk melakukan pencarian ini. Kurasa tidak lama lagi
mereka akan datang, karena e-mail konfirmasinya pun sudah sampai kepadaku.
Saat aku akan melangkahkan kaki ke dalam
mobil, terdengar suara klakson dari arah belakang. Suara klakson yang cukup
keras dan berulang-ulang hingga aku memutuskan untuk menolehkan kepala ke
sumber suara. ‘Oh my God’, ucapku
dalam hati. Ini benar-benar kejadian yang tidak terduga. Sesaat kemudian mobil
itu berhenti tepat di belakang mobil kecilku yang terlihat semakin memilukan
bersanding dengan mobil sebagus itu. Oh tidak, orang yang kutunggu-tunggu
sedari tadi akhirnya tiba juga di tempat dan waktu yang benar-benar tidak
tepat.
“Hai, Clara.” sapa gadis cantik
super modis yang baru saja keluar dari kursi kemudi.
“Oh, halo. Selamat sore.”
balasku mencoba bersikap ramah kepadanya. Gadis itu pun mendekat ke arahku
dengan langkah anggun dan sepertinya bukan hanya aku yang bersikap agak kikuk
mendapatinya di tengah jalan seperti ini.
“Hai. Maaf aku tidak sempat
pergi ke klinik tadi? Apakah kau ada waktu sebentar hari ini?”
“Oh, tentu saja. Apa ada yang
bisa kubantu nona Kathrina?”
“Kumohon panggil saja Kathrina,
oke? Aku bahkan sudah memanggilmu Clara, jadi ini agak sedikit aneh... kau tau,
ehm.. awkward.” kurasa dia memang
benar. Mendengar diriku sendiri menyapanya Miss
membuatku merasa aneh.
“Tentu. Mari kita ulangi lagi,
oke? Apa ada yang bisa kubantu Kathrina?”
“Terdengar lebih baik,
terimakasih. Ehm, bisakah kita membicarakannya di tempat lain? Kau tau, tempat
ini membuatku tidak nyaman.” Gumamnya sambil sesekali melirik ke arah rumah
Mrs. Smith.
“Itu ide yang bagus. Mari kita
bicara di tempat yang lain. Bagaimana dengan ‘Galvanos’? Mereka punya tempat
yang lumayan nyaman dan kupikir kita bisa sekaligus makan malam bersama, jika
tidak keberatan?” Oh bodoh sekali aku, kenapa malah mengucapkan tempat tanpa
berpikir terlebih dahulu. Hanya karena Galvanos adalah tempat makan favoritku
bukan berarti aku harus mengajaknya kesana. Jika kami sudah terlanjur berada di
sana kurasa kami tidak hanya akan berbicara sebentar, melainkan berbicara dalam
waktu yang sangat lama. Sebelum sempat kutarik ucapanku, terdengar jawaban yang
sedikit terlalu antusias dari Kathrina.
“Bolehkah? Tentu saja, itu ide
yang brilian. Ayo kita kesana!”.
Sedetik kemudian ia
sudah ada di dalam mobil dan membunyikan klakson kepadaku yang tidak bergeming
dari tempatku berdiri semula. Aku pun segera masuk ke mobil dan melajukannya
menuju ke Galvanos. Bagus, kau membunuh dirimu sendiri Clara, ucapku dalam
hati. Dasar idiot! Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku merutuki
ajakanku yang terlalu beresiko ini. Aku harus segera menyiapkan mental karena
bagaimanapun kondisinya aku tidak boleh terpengaruh. Ada hal lebih besar di
sini yang perlu ku selesaikan dan aku tidak mungkin pergi dari sini lagi, tidak
lagi.
Sesampainya di Galvanos,
aku segera memarkir kendaraanku lalu mengambil dompet dari dalam tas kerja
serta ponsel yang beberapa waktu lalu berdering. Sepertinya ada sms masuk dan
aku belum sempat memeriksanya. Sambil memeriksa sms yang masuk aku menyempatkan
untuk menulis pesan kepada ayah bahwa aku akan makan di luar hari ini, jadi
mereka bisa makan duluan tanpa aku. Kulihat Kathrina sudah menungguku di dekat
mobilnya, dan aku pun segera menuju ke arahnya. Dia tersenyum riang seperti
seorang teman lama yang sangat menantikan pertemuan ini. Dia sangat cantik
ketika tersenyum seperti itu, bahkan ketika tidak tersenyum pun dia sudah
terlihat cantik. Tidak heran jika semua pria menyempatkan diri untuk memandangi
saat berlalu di dekatnya. Kira-kira 15 langkah sebelum aku sampai di
hadapannya, angin kencang menerpa tubuhku secara tiba-tiba dan area parkir yang
sedari tadi terlihat lengang, kini dipenuhi suara gemeretak tiang-tiang rapuh
yang bertabrakan dengan angin keras. Sesaat kemudian timbul perasaan yang sama
seperti saat aku makan di kantin waktu istirahat siang tadi, perasaan yang kuat
dan dingin. Bulu kudukku meremang dan secara otomatis aku melihat sekelilingku.
Tidak ada orang yang mencurigakan sama sekali, semua orang nampak sibuk dengan
urusan mereka masing-masing dan ingin segera sampai di mobil karena angin yang
menusuk tulang menghempaskan baju-baju mereka yang lusuh. Aku mengarahkan
perhatianku kembali kepada Kathrina yang tampak melihat ke arah kanan pelataran
parkir yang berbatasan dengan lahan kosong yang sedang dibangun untuk dijadikan
tempat makan baru. Namun sejauh mata memandang, tidak ada siapa-siapa di sana,
karena kegelapan malam yang mulai merayap menutupi seluruh lahan tanpa
penerangan itu. Aku merasa Kathrina sedang memandang ke arah seseorang namun
aku tidak melihat siapapun, jadi kuputuskan untuk segera menghampirinya.
“Hai, ayo masuk ke dalam.
Sepertinya akan turun hujan karena anginnya tiba-tiba berhembus terlalu
kencang.”
“Ah, iya itu benar.” balasnya
sambil mencoba kembali tersenyum dari ekspresinya sebelumnya yang sekilas terlihat
kesal.
Kami pun segera masuk ke
dalam dan aku memilihkan tempat yang terlihat nyaman bagi kami berdua untuk
bercakap-cakap. Kami memutuskan untuk memesan beberapa makanan karena
sepertinya kami berdua memang sedang lapar. Sudah lama aku tidak pergi dengan
seorang teman dan makan di luar seperti ini. Biasanya sepulang kerja aku
langsung pulang ke rumah dan makan bersama keluargaku. Terakhir kali mungkin 2
minggu yang lalu ketika aku makan bersama dengan Cassie dan Matt setelah
mengantar mereka berbelanja beberapa keperluan bayi. Aku tidak sabar menantikan
kehadiran Ted kecil yang sangat disayangi orang tuanya itu. Bahkan mereka
berencana membuatkannya sebuah lagu. Ah, benar-benar aneh dan berlebihan
pikirku, tapi sepertinya mereka memang sangat menanti-nantikan bayi pertama
mereka. Melihat mereka berdua bersama saja sudah seperti sebuah keajaiban
bagiku. Lamunanku buyar ketika Kathrina mulai mengajakku berbicara.
“Ehm, apa ada yang mengganggu
pikiranmu? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu.”
“Oh, tidak.. tidak.. Bukan hal
penting. Oh iya, Kathrina ceritakan tentang dirimu. Aku rasa kau sudah tau
banyak tentang aku tapi aku sama sekali tidak tau apa-apa kecuali namamu tentu
saja.”
“Oh, benarkah? Aku hanya tau kau
bekerja di klinik dan namamu saja.”
“Aku malah tidak pernah
melihatmu di sekitar sini sebelumnya. Jadi, apa kau tinggal di daerah ini? Apa
pekerjaanmu?”
“Apa kau merasa penasaran
denganku?”
“Hemm, tentu saja. Bukankah kita
memutuskan untuk saling mengenal dengan bertemu seperti ini. Apakah kau
keberatan?”
“Tentu saja tidak. Aku sangat..
sangat.. senang karena kau mau bertemu denganku.”
“Well, itu sedikit aneh. Kenapa kau sangat senang bisa bertemu
denganku?”
“Mm-maksudku, aku senang karena
bisa bertemu denganmu lagi karena kita bertemu secara kebetulan di jalanan, dan
bertemu denganmu lagi membuatku merasa telah melakukan kebaikan sekaligus
membuatku sadar bahwa aku tidak bermimpi saat itu.”
“Ah..., begitukah? Kalau begitu...
sekarang aku akan mendengarkan ceritamu.”
“Hahaha, kau terlihat seperti
seorang pendengar yang baik.”
“Tentu saja, semua temanku
selalu menganggapku sebagai tempat curhat terbaik mereka.”
“Sepertinya itu memang benar.
Baiklah, mari kita mulai perkenalannya. Aku Kathrina Wright dan aku berasal
dari Brighton City. Aku bekerja sebagai seorang sekretaris di sana dan aku
kemari untuk beberapa urusan karena perusahaan tempatku bekerja baru saja
membuka perusahaan cabang di sini. Jadi, sebenarnya aku tidak tinggal di Mica.”
“Wow, apakah kau bekerja di
Clayford? Kudengar mereka baru saja membuka perusahaan baru di daerah sini.”
“Ya, benar sekali. Bagaimana
bisa kau tahu di mana aku bekerja?”
“Oh, yang benar saja, tidak ada
yang bisa disembunyikan di Mica. Semua orang selalu membicarakan hal sekecil
apapun yang terjadi di sini. Sangat sulit untuk tidak mendengarkannya apalagi
aku bekerja di klinik di mana semua orang selalu bergosip di ruang tunggunya.”
“Pffttt... benarkah? Kurasa
sumber informasi sekarang ini tidak hanya bisa didapat melalui media elektronik
saja.”
“Itu benar. Kau akan terkejut
melihat seberapa cepat sebuah berita tersampaikan ke seluruh orang di daerah
ini hanya dalam waktu beberapa menit.”
“Ini terdengar menjanjikan.
Kurasa aku akan mempertimbangkan melakukan promosi lisan seperti itu.”
“Itu hal yang sangat efektif.
Kau bisa menyampaikan produkmu dengan lebih cepat melalui orang-orang, terutama
ibu-ibu yang terlihat seperti reporter televisi.”
Kami tertawa mendengar
kata-kata terakhirku yang memang terlalu menggelikan untuk dibiarkan begitu
saja. Beberapa saat kemudian makanan kami datang dan kami terlarut dalam
obrolan kami mengenai pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang aneh sama sekali
dengan Kathrina. Dia bercerita segala hal yang terjadi di lingkungan kerjanya
dengan antusias dan aku sangat mengerti bahwa dengan kecepatan bercerita yang
seperti itu sudah jelas dia mengatakan hal yang sebenarnya tanpa menutupinya
sedikitpun. Kurasa apa yang ku khawatirkan tidak akan terjadi hari ini. Tetapi,
sejelas perasaan tidak nyaman yang terus mengikutiku sejak tadi, sejelas itu
pula lah siapa Kathrina yang sebenarnya. Mereka tidak akan membiarkanmu
berjalan-jalan sendirian begitu saja bukan? Itu benar, Kathrina, mari kita
berteman dan saling membantu satu sama lain. Tidak ada salahnya berteman
dengannya karena dia sangat jujur dan terbuka. Akan lebih baik lagi jika dia
bisa jujur mengenaiku. Dia mungkin sebenarnya sudah mengenaliku sejak lama,
namun sepertinya dia tidak ingin membuatku sadar akan hal itu.
“Oh ya, apakah kau bekerja
dengan banyak orang di sini? Kurasa akhir-akhir ini banyak mobil yang terlalu
bagus berseliweran di Mica. Itu benar-benar hal yang tidak biasa menurut
bibiku.”
“Hemm, mungkin. Beberapa orang
dari perusahaan kami menggunakan mobil yang memang dipinjamkan oleh perusahaan
dan tentu saja mobil itu sengaja dikeluarkan untuk menarik minat masyarakat
terhadap perusahaan kami. Memang, di sini produksi kami berfokus pada
kendaraan-kendaraan yang dikhususkan untuk lebih membantu di bidang pertanian
tetapi bukan berarti kami meninggalkan kualitas desain khas Clayford yang
anggun dan mewah. Beberapa orang di sini secara mengejutkan telah menjadi
sangat kaya kau tau.”
“Hahaha, kurasa kau benar.
Mereka kaya namun mereka sama sekali tidak menghambur-hamburkannya. Itulah
kenapa desa ini tampak seperti jauh dari kemajuan teknologi di kota-kota besar.”
“Oh, melihat cara bicaramu
sepertinya kau tidak berada di sini sebelumnya?”
“Ah, sebenarnya aku baru saja
pindah kesini sama seperti dirimu. Aku dulu tinggal di Manhattan dan bekerja di
sana, tetapi karena suatu hal aku harus kembali ke Mica. Sebenarnya aku lahir
di sini dan pindah saat usiaku sekitar 12 tahun.”
Aku mencoba mencari
petunjuk di antara ekspresinya saat mendengarkan kisahku, dan sepertinya aku
berhasil menangkap sedikit rasa terkejutnya. Dia mungkin sudah mengantisipasi
hal ini, tapi terlalu kaget untuk mendengarkannya langsung dari mulutku. Tapi,
dia memilih bungkam dan tidak mengomentari ucapanku, jadi kurasa dia masih
ingin menyembunyikannya. Tidak masalah bagiku, aku akan mengikuti permainannya
untuk saat ini. Lagipula, aku bisa mendapat banyak informasi darinya.
Waktu sepertinya berlalu
lebih cepat kali ini karena tanpa di sadari kami telah menghabiskan waktu 2 jam
saling menceritakan hal-hal acak yang tiba-tiba saja terlintas. Kathrina tidak
bertanya lebih jauh tentang diriku dan akupun tidak ingin memaksanya untuk
menceritakan segala hal tentang dirinya, jadi kami secara spontan mengalihkan
pembicaraan ke hal-hal yang sedang hangat dibicarakan. Bercakap-cakap dengannya
tidak bisa dibilang melelahkan, sebenarnya ini menyenangkan. Jalan pikirannya
yang sedikit berbeda dari orang-orang membuatku merasa senang mendengarkan
pendapat-pendapatnya itu. Dia terlihat seperti seorang gadis muda yang manja
namun dia terlihat bisa diandalkan dan berpikiran jauh ke depan. Sepertinya
topik yang akan kami bahas tidak akan pernah habis, jadi aku harus mencari cara
untuk mengakhirinya. Tetapi rupanya Kathrina juga mempunyai urusan lain yang
harus dikerjakan.
“Oh, maafkan aku. Aku sangat
senang berbicara denganmu hingga lupa waktu seperti ini. Sebenarnya aku ada
janji bertemu dengan seseorang, jadi kurasa aku harus pergi sekarang.”
“Well, tidak masalah. Aku juga harus pulang sekarang, senang sekali
bisa bercakap-cakap denganmu Kathrina.”
“Aku yang seharusnya
berterimakasih karena kau sudah mentraktirku. Jangan berpikir karena hutangmu
sudah lunas maka kita tidak akan bertemu lagi ya, kita harus menyempatkan waktu
untuk bertemu lagi di lain hari.”
“Tentu saja. Kau bisa
menghubungiku kapanpun. Aku akan menyesuaikan jadwalnya.”
“Itu bagus. Aku akan segera
menghubungimu lagi.” balasnya sambil tersenyum riang di depanku. Kami segera
keluar dan berpisah di halaman parkir.
Kulihat dia melajukan
mobilnya menjauh dan melambai ke arahku, aku pun melambaikan tangan membalasnya
hingga mobil yang ditumpanginya berbelok di ujung jalan. Sedetik kemudian
kurasakan perasaan dingin dan kuat itu semakin meningkat, hingga rasa-rasanya
berjalan menghampiriku dengan cengkeraman setajam cakar elang. Kurasakan dengan
jelas seseorang berdiri memandangiku di sebelah mobil terujung dekat dengan
lahan kosong yang sebelumnya dipandangi Kathrina. Aku tidak berani
memandanginya lebih lama, lebih tepatnya aku tidak boleh memandanginya terlalu
lama karena dia bisa curiga. Aku segera masuk ke dalam mobil dan memastikan
pintunya terkunci erat sebelum
melajukannya kembali menuju rumah. Sekelebat bayangan muncul di samping kanan
mobilku dan secara tiba-tiba perasaan mengancam itupun sirna digantikan dengan
hangatnya ruang di dalam mobilku yang wangi. Aku bersyukur karena bisa
melewatinya dengan selamat.
Sepanjang
perjalanan ke rumah aku terus siaga, menajamkan sensitivitasku ke lingkungan
luar. Jalan lengang yang kulewati semakin membuatku terjaga. Aku melajukan
mobilku dengan cepat hingga batasnya, meskipun jika dibandingkan dengan laju
mobil Kathrina ini hanya 1/3 nya, namun aku harus cepat sampai di rumah. Ada
beberapa hal yang harus kuperiksa karena sms konfirmasinya pun sudah kuterima.
Mereka akan segera datang dan aku harus bersiap-siap menyambut kedatangannya.
Mereka adalah teman-teman yang bisa kuandalkan kapanpun dan dimanapun aku
membutuhkan bantuan. Mereka pasti bisa membantuku melewati semua ini, karena
kami menjadi kuat saat bersama. Terlalu kuat untuk dikalahkan oleh orang-orang
seperti Kathrina atau orang yang berada di tempat parkir tadi. Kami tidak akan
menyerah dan kami pasti akan menyelesaikan misi kami dengan baik. Apalagi di
sini kami punya banyak orang yang mau membantu. Kehilangan Mrs. Smith tidak
akan menjadi peristiwa yang sia-sia. Kami akan berjuang sampai akhir meskipun kegiatan
kami akan ditentang oleh berbagai pihak. Kuharap mereka datang lebih cepat dari
waktu yang dijanjikan karena aku sudah sangat.. sangat.. merindukan mereka. Mereka
adalah sekelompok keluarga kecil lain yang mau menerimaku apa adanya.
Komentar
Posting Komentar