The Kingdom Out Of Nowhere (Chapter VII)

Dari serpihan debu yang terbang melayang terbawa angin malam...
Kau hadir temani aku yang sedang sepi dan muram...
Tanganmu bagai selimut pembungkus jiwa yang sepi, hatimu bagai matahari yang bersinar terangi jalan gelap...
Kau pergi.... kau pergi.... kau pergi karena kau telah berjanji...
Temui aku di ujung jalan bersama kenangan yang bersembunyi dalam bumi, menanti datangnya hari...
Kapankah hati yang terpaut akan kembali bersatu? Saat semua telah hilang, penyatuan dua jiwa yang terpisah, tak lagi diberi arti...

    Aku terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut memutar balada menyedihkan di dalam otakku berkali-kali. Apa maksud dari nyanyian ini? Aku sama sekali tidak pernah mendengar lagu ini sebelumnya. Syair yang terkandung di dalamnya bukanlah teka-teki kata yang rumit, melainkan kisah lugas mengenai kesedihan cinta. Namun, aku tidak pernah mendapat petunjuk seperti ini sebelumnya. Jika bukan mimpi dan juga bayangan, apakah syair ini juga merupakan sebuah pertanda? Kepalaku masih tetap berdenyut pelan hingga saat ini. Suara itu.... aku mencoba mengingatnya berkali-kali. Suara itu terdengar familiar bagiku, tetapi aku tidak bisa mengingat wajah siapapun yang bisa mewakilkan suara itu. Apa mereka mencoba berkomunikasi lagi denganku? Mimpi tidak datang serta merta bagi orang-orang sepertiku, seseorang pasti telah mengirimkannya dengan tujuan apapun itu.
    Dengan mata setengah terpejam dan tangan yang sedari tadi memegangi kepala, aku bangkit dari kamar tidur dan berjalan ke arah jendela. Kusibakkan tirai penutup jendela untuk menyambut pagi yang punya nuansa magisnya tersendiri karena bisa membangkitkan semangatku seketika saat aku merasakan kehadirannya. Walaupun pagi ini tidak diawali dengan hal yang menyenangkan, aku tetap senang karena setidaknya masa-masa suram yang pernah menimpaku dulu tidak terulang lagi. Aku cukup aman di sini, dan sekeras apapun mereka mencoba mendapatkanku kembali, mereka tidak akan bisa melangkah semudah itu. Telponku berdering untuk kesekian kalinya setelah tadi malam beberapa orang menelponku secara bergantian tanpa henti.
“Yes, hello.”
“Hai, gadis cengeng. Bagaimana kabarmu?”
Kudengar suara ceria yang sangat kukenal dari seberang sana dengan latar belakang musik rock-vintage yang mengalun tertahan. Tanpa kusadari sudut bibirku tertarik hingga membentuk seringaian lebar. 
“Oh, hentikan ocehanmu itu! Cepat kesini!” balasku dengan nada yang sedikit memerintah namun terdengar seperti rengekan di telingaku sendiri.
“Wow, sepertinya kau sangat merindukanku. Tenanglah sedikit, aku akan segera datang.”
“Bukankah kau mengatakan hal yang sama beberapa minggu yang lalu? Berapa lama lagi aku harus menunggu?”
“Hei, ada apa Clara? Sesuatu terjadi di sana? Kau terdengar.... emm... berantakan.”
“Tidak... entahlah... well, kau tau aku.. hanya merasakan sesuatu yang buruk sepertinya akan segera terjadi.”
“Hei..hei... sudah kubilang jangan terpengaruh kebiasaan burukmu itu! Kau terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tidak perlu.”
“Aku tau, aku tau... tapi ini tidak seperti aku bisa menghentikannya sesukaku begitu saja. Kau yang paling mengerti hal ini.”
“Ya, tentu saja hanya aku yang paling mengerti dirimu, gadis paling cengeng sedunia... jadi jangan khawatir dan sambutlah kami dengan senyuman. Kami akan segera tiba di sana, nantikan saat-saat dimana unicorn tertidur lelap dan induk ayam mulai berlari mencari tangerine.”
“Hemm, perumpamaan yang lucu sekali. Baiklah, aku mengerti. Sampai jumpa, jaga dirimu.”
“Mmm... tentu. Kau juga, pergilah mandi dan jangan pikirkan apapun sampai kami datang.”
“Kedengarannya menyenangkan.”

    Aku tau aku bersikap bodoh dengan membuat semua orang khawatir, tetapi perasaan yang merayapi jiwaku tidak bisa diabaikan begitu saja. Pertama, kejadian di pantai tak bernama di dekat Pucha waktu itu, dan sekarang aku mulai mendengar hal-hal aneh di kepalaku. Apapun artinya segala peristiwa yang kualami tidak bisa disepelekan. Segala kemungkinan harus bisa kami prediksi agar kami bisa mengantisipasinya sebaik mungkin. Dan tentu saja, tidak akan bisa kulakukan jika aku terus-terusan membuang waktu berkeluh kesah seperti ini. Kuikat rambutku dengan sehelai kain dan mengambil beberapa pakaian sebelum masuk ke kamar mandi. Ya, Ian memang benar, mandi adalah hal yang paling kubutuhkan saat ini.
    Satu hari lagi yang harus kulewatkan dengan rutinitas konstan dan menjemukan bersama dengan orang-orang baru yang kini mulai menjadi bagian takdirku. Namun, anehnya hari ini aku tidak mengeluh melainkan merasa bersyukur karena aku terlindungi dari hal-hal yang sama sekali tidak kuinginkan melalui aktivitas yang akan kulewati. Bahkan secara menakjubkan aku sempat mengalunkan lagu-lagu favoritku di tengah perjalanan ke klinik. Suasana suram yang menggantung di langit tiba-tiba ketika aku mulai memasuki pelataran parkir klinik pun tidak bisa mengusikku. Akhir-akhir ini aku tidak bisa memprediksi cuaca di Mica. Terkadang aku terbangun dengan sorotan sinar matahari yang terang namun keluar rumah dengan sambutan benang transparan berjatuhan dari langit. Di lain waktu aku berangkat bekerja dengan mantel tebal yang hangat dan malah pergi mencari es-krim di The Eighties saat jam makan siang. Mungkin... hanya mungkin... perubahan cuaca inilah yang mempengaruhi mood-ku sehari-hari.
    Klinik hari ini masih dipadati pasien yang datang silih berganti seakan-akan Mica berubah menjadi New York dengan segala kesibukan dan kepadatan penduduknya yang tak terkira. Banyak orang yang menderita sakit deman dan flu sehingga kami harus meminta pasokan obat paracetamol lebih banyak dari biasanya. Pekerjaan yang harus kulakukan pun semakin bertambah jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Untuk beberapa keperluan darurat, kami merubah sistem shift dengan menambahkan beberapa orang untuk bekerja di pagi hari dan mengoper beberapa orang yang lain untuk bekerja di malam hari dengan jadwal yang memusingkan seperti benang kusut. Aku tidak pernah mengira bekerja di klinik yang tidak seberapa besar ini dapat menguras energiku sampai ke akarnya. Dan sekali lagi mungkin... hanya mungkin... perubahan cuaca inilah yang menyebabkannya.
    Setelah mengemasi beberapa peralatan medis di ruang periksa, aku segera keluar untuk membeli makan siang. Kali ini aku tidak pergi sendirian karena Gerald menawarkan kepadaku tumpangan gratis ke Galvanos beberapa saat yang lalu. Itu bagus, pikirku, aku benar-benar sedang terlalu lapar bahkan hanya untuk menggerakkan tangan dan kakiku di kursi kemudi.

“Kau terlihat cukup memprihatinkan hari ini, C,” ucap Gerald ketika kami berdua berkendara menjauh dari klinik.
“Hmm, aku setuju. Tapi aku menolak disalahkan untuk hal ini,” balasku lemas sambil bersandar ke belakang dengan bahu yang menempel kuat di pintu mobil.
“Tidak perlu terlalu memaksakan diri seperti itu C. Kau bisa meminta izin jika memang sedang merasa kurang sehat.”
“Apa aku kelihatan sakit? Kenapa semua orang berkata seperti itu? Kau boleh percaya atau tidak, tapi bibi dan ayahku juga mengucapkan hal yang sama kepadaku tadi pagi di waktu dan tempat yang berbeda.”
“Yah, kau tidak bisa menyalahkan kami. Itu semua karena kau bersikap seolah-olah kau tidak punya cukup energi bahkan hanya untuk sekedar bernafas.”
“Mmmm..,” aku tersenyum kecil mendengar celetukan Gerald yang memang tidak dapat ku pungkiri kebenarannya.
“Jadi karena inikah kau menawarkan tumpangan kepadaku?”
“Kurang lebih,” balasnya sambil mengedikkan bahu dengan konsentrasi penuh ke jalan di depannya.
“Semua orang di klinik mengkhawatirkanmu dan memaksaku untuk memberimu nutrisi yang cukup sebelum dibolehkan kembali ke klinik, kau tau itu?”.
“Ya Tuhan, aku tidak menyangka akan seperti ini. Kalian memang yang terbaik,” balasku sambil menyeringai dengan jempol tangan yang terangkat setengah hati.
“Syukurlah kau masih bisa tertawa, setidaknya.”
“Thanks, Gerald. Kau tau ini sangat berarti.”
“Tidak masalah. Aku juga lapar, tambahkan -sangat- pada kata sebelumnya.”

    Kami tertawa berdua di dalam mobil ber-AC dengan desain futuristic yang benar-benar nyaman ditumpangi ini. Gerald adalah salah satu dokter kandungan yang bekerja di klinik. Tidak seperti aku yang bekerja tetap di klinik, Gerald hanya bekerja selama 3 hari dalam seminggu. Selebihnya dia bekerja di rumah sakit central di Brighton City. Secara penampilan, dia jelas tidak bisa disandingkan denganku yang selalu tampil apa adanya, karena menurutku Gerald adalah pria paling keren di Mica. Wajahnya yang kelihatan sangat muda dan penampilannya yang selalu up-to-date khas seorang pengusaha kaya membuatnya terlihat menonjol diantara orang-orang yang lain. Bahkan banyak sekali, kuulangi lagi banyak sekali, pasien ibu-ibu hamil yang meminta untuk secara khusus ditangani olehnya. Tidak heran, meskipun dia hanya bekerja selama 3 hari dalam seminggu, tetapi antrian di kursi tunggu depan ruangannya lah yang selalu paling panjang.
    Tidak lama kemudian kami sampai di area parkir Galvanos yang kelihatan ramai di jam-jam seperti ini. Saat aku keluar dari mobil sambil menunggu Gerald dengan bersandar lemah di mobil mewah ini, seketika mataku terbelalak menyaksikan pemandangan yang benar-benar membuatku terkejut. Aku melihat mobil Kathrina terparkir manis di antara beberapa mobil yang terlihat seperti barang rongsokan di dekatnya. Kutajamkan mataku mencoba memastikan plat nomor mobil yang sedang memamerkan diri di bawah kelamnya langit yang seolah berduka untuk mobil-mobil yang lain. Tidak salah lagi, itu mobilnya. Kulayangkan sumpah serapah tertahan mendesis dari mulutku yang terkatup erat. Hari ini tidak bisa menjadi lebih buruk lagi dari ini.
    Kurasakan sentuhan lembut di siku tanganku dan mendapati Gerald mengajakku untuk segera masuk dengan senyum lebarnya. Kupaksakan sedikit senyuman untuk membalasnya dan beranjak mengikuti Gerald yang melangkah cepat ke dalam Galvanos. Saat sampai di dekat pintu, aku segera mengedarkan pandangan mencoba mencari lokasi di mana Kathrina berada dan dengan cepat kutemukan gadis berambut pirang yang menawan dan terlihat mencolok di dalam restoran ini. Kuucapkan beberapa patah kata dalam hati memohon agar Gerald memilih tempat duduk yang jauh dari Kathrina dan secara otomatis Gerald menunjukkan tempat duduk nyaman di pojokan dengan beberapa pot tanaman yang menutupi dari pandangan orang-orang, terutama dari arah tempat Kathrina berada sekarang. Syukurlah, aku bisa makan dengan tenang.
    Kami memesan beberapa makanan yang sepertinya tidak akan bisa kami habiskan berdua saja, namun Gerald bersikeras memesankan banyak makanan bernutrisi untukku. Sebagai seseorang yang tau berterima kasih aku mengiyakan dengan patuh dan melahap semua yang ada di hadapanku dengan khidmat. Tidak seperti ketika makan di kantin klinik, makan siang kami diiringi dengan pembicaraan seputar hobi dan hal-hal lain yang menyenangkan. Aku jarang punya kesempatan berbicara dengan Gerald karena jadwalnya yang padat, sehingga kali ini seperti mengejar ketertinggalanku atas informasi mengenai dirinya. Karena usia kami yang tidak terpaut berbeda, obrolan kami jadi menyenangkan hingga tidak terasa dua pertiga bagian makanan yang ada di atas meja telah masuk ke perut kami.
“Seriously you eat a lot!” gumam Gerald saat aku memasukkan potongan pizza terakhir ke dalam mulutku yang menganga cukup lebar.
“Hau fendiwi... yang bilang aku harus menghabiskannya,” balasku dengan mulut penuh sehingga menimbulkan suara yang sedikit aneh. Kulihat Gerald tersenyum geli melihat tingkahku yang mencoba berbicara dengan mulut penuh dan tangan yang menggapai-gapai ke arah minumanku.
“Kalau melihatmu seperti ini, sepertinya hipotesisku bahwa kau sakit tadi benar-benar sebuah omong kosong,” ucapnya sambil meneguk minuman di gelasnya hingga akhir.
    
    Aku hanya bisa tertawa lebar mendengar komentarnya. Dia pasti merasa aku terlalu fokus untuk menghabiskan makananku sehingga tidak mengajakku berbicara kembali. Dia jelas tidak tau bahwa sebenarnya aku sedang mengawasi seseorang dari balik dedaunan yang menjuntai menutupi tempat kami. Aku mengawasi Kathrina yang sejak tadi sepertinya tidak menyadari kehadiranku di sini. Kuperhatikan kembali tempat duduknya melalui sudut mataku, dan aku berhasil menangkap sesosok pria tampan yang terlihat sangat elegan duduk di sampingnya. Sementara beberapa orang yang lain duduk membelakangiku sehingga aku tidak bisa memastikan wajahnya dengan jelas. Kurasa mungkin Kathrina sedang berada dalam meeting semi formal dengan atasannya. Beberapa kali kulihat si pria mengedarkan pandangan matanya menatap setiap sudut ruangan dengan mata setajam elang yang memicing. Saat itulah waktu yang tepat bagiku untuk memulai percakapan dengan Gerald agar aku tampak seperti pengunjung biasa yang menghabiskan waktu makan siang dengan temannya.

“Hei, apa ini tidak apa-apa? Aku sudah menghabiskan lebih dari setengah makanan yang kau pesan.”
“Bukankah sudah kubilang bahwa kau makan banyak sekali tadi? Tapi itu bukan masalah, aku senang jika kau makan dengan lahap seperti ini karena itu artinya kau bisa kembali ke klinik dengan energi yang terisi penuh seperti dirimu yang biasanya.”
“Itu benar. Aku merasa otot-otot di tubuhku sedang bersiap untuk menyambut sisa hari dengan penuh semangat.”
“Baguslah kalau begitu. Kita masih punya beberapa menit tersisa sebelum harus kembali, jadi kau tidak perlu tergesa-gesa.”
“Tidak..tidak.. aku benar-benar sudah kenyang sekarang. Jika kupaksakan lagi aku akan muntah,” balasku sambil duduk bersandar ke kursi dengan tangan mengelus perut yang terlihat lebih berisi dari sebelumnya.
Gerald hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku.
“Kau seharusnya makan lebih banyak lagi. Bagaimana kau bisa mendapatkan tenaga untuk menghadapi ibu-ibu ganas yang selalu mencarimu kemana-mana itu jika makanmu sedikit sekali.”
“Kurasa, aku terlalu terpana melihatmu makan sehingga aku merasa sudah cukup kenyang untuk melanjutkannya,” jawab Gerald dengan seringai mengejek yang khas.
“Sialan! Aku tidak separah itu tau!”, balasku menggerutu kepadanya. Secara refleks aku melihat ke arah jam besar di tanganku untuk mengetahui berapa waktu yang tersisa sebelum jam makan siang berakhir. Sekitar 15 menit lagi kami sudah harus sampai di klinik, jadi kurasa kami bisa bersantai kurang lebih sekitar 5 menit lagi.
    
    Kupandangi kembali arah tempat duduk Kathrina yang sama sekali tidak mengindikasikan bahwa mereka akan segera pergi dari sana. Aku bisa saja melewatinya dengan selamat saat masuk tadi mengingat banyak sekali orang yang berlalu lalang keluar masuk, tetapi sekarang keadaan di dalam Galvanos sudah mulai sepi. Dia pasti bisa melihatku lewat nanti, tapi semoga saja dia tidak menyapaku atau aku akan semakin terseret jauh dalam takdir yang rumit. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa orang-orang yang duduk di sekitarnya bukan sekedar pegawai elite biasa. Mereka punya aura yang sedikit membuat bulu kudukku merinding di siang bolong seperti ini, aura yang hampir bisa ku kenali sebagai salah satu orang yang membuntutiku dan Kathrina saat di Galvanos tempo hari.
“Kurasa sebaiknya kita kembali sekarang, C!” ucap Gerald membuyarkan pikiranku yang terpaut pada aura yang mengintimidasiku itu.
“Oh, itu benar. Kita harus segera kembali.”
    Kami berdua segera berpindah dari tempat duduk kami yang tersembunyi dedaunan hiasan dalam pot besar berwarna emas. Saat melangkahkan kaki keluar, kucoba memfokuskan pandanganku pada Gerald yang terus mengajakku berbicara tentang pasien-pasiennya yang akan datang setelah ini. Beberapa kali kulontarkan sahutan pendek menanggapinya sambil tetap bergegas melangkah menuju pintu keluar. Aku bisa merasakan seseorang memandangiku dengan intensitas yang luar biasa hingga aku harus menjaga kepalaku agar tidak menoleh secara refleks memandanginya kembali. Dalam hati aku terus berharap agar Kathrina tidak memanggilku, sebenarnya bahkan aku melarangnya memanggilku sendiri dari dalam hati, “Jangan panggil, jangan panggil... Abaikan aku! Lanjutkan obrolanmu saja, oke?”. Dan itulah yang terjadi, aku selamat sampai di parkiran mobil menunggu Gerald membukakan pintunya dengan perasaan lega yang luar biasa. Fiuhh, syukurlah...
    Perjalanan menuju klinik terjadi dengan cepat seiring percakapan seru yang seakan tak pernah putus. Inilah alasan mengapa jika aku diberi pilihan mau dikurung seharian dengan siapa aku akan memilih Gerald, karena dia punya 1001 cerita yang tidak akan pernah membuatku bosan untuk mendengar dan menanggapinya. Wawasan luasnya akan dunia membuatku merasa melihat dunia kembali dari sudut pandang yang berbeda, karena selama ini aku selalu melihat dunia dengan sudut pandang yang jelas berkebalikan dengan orang-orang normal pada umumnya. Mereka melihat dunia sebagai tempat yang indah namun rusak, damai namun rusuh, kaya namun miskin dengan berbagai problematika yang selalu meningkat tiap hari. Sedangkan aku, melihat dunia sebagai sisi yang palsu dimana orang-orang berkuasa mengendalikannya sedemikian rupa hingga orang-orang menganggap dunia sebagaimana yang mereka inginkan. Dan jarak antara orang-orang berkuasa denganku itu hanya sejengkal, sebagaimana jarak puncak kepalaku ke dagu.
    Saat kami memasuki klinik yang terlihat ramai, kami disambut oleh para petugas yang sibuk berlalu lalang membawa beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk pasien rawat inap. Jarang sekali kami menemukan pasien di klinik yang harus di rawat inap kecuali anak kecil atau wanita yang akan dan sudah melahirkan, karena kami hanya menangani masalah kesehatan yang tidak terlalu kronis. Kulihat Lenna yang berjalan cepat membawa selimut dan sprei baru berwarna krem muda khas klinik kami yang meninggalkan semerbak aroma tertentu di sepanjang jalan. Tanpa berpikir panjang aku segera menyusulnya bersama Gerald yang juga menatapku penuh tanda tanya.


“Hai, Lenna. Ada apa ini? Semua orang kelihatan sedikit... sibuk,” tanyaku pada Lenna yang melambatkan langkahnya menyambutku.
“Oh, kalian sudah kembali dokter? Baguslah kalau begitu. Kita baru saja mendapat telepon dari rumah sakit pusat di Manhattan yang meminta pemindahan pasien ke klinik.”
“Tunggu, apa aku tidak salah dengar? Mengapa di pindah ke klinik kecil kita ini? Bukankah akan lebih baik jika pasien itu dirawat secara langsung disana?” balas Gerald dengan kening berkerut yang terlihat sedikit lucu.
“Itu benar, Lenna. Mengapa secara aneh dan tidak wajar mereka malah memindahkan pasien ke sini? Ke Mica?”.
“Aku bisa melihat kalian berdua tidak percaya padaku. Tetapi percayalah, mereka benar-benar meminta pemindahan ini secara khusus dan kepala klinik pun telah menyetujuinya. Mereka punya beberapa alasan tersendiri yang memang masuk akal untuk memindahkan seorang pasien ke klinik kecil kita ini, dokter,” jawab Lenna dengan wajah yang agak tidak yakin namun dia berkata jujur.
“Tapi bukankah kita tidak terbiasa merawat pasien rawat inap dalam jangka waktu yang lama? Bagaimana keadaannya? Apakah sakit kronis?” Lenna yang paham bahwa Gerald menanyakan riwayat kesehatan sang pasien segera menjelaskan detailnya kepada kami berdua.
    Keningku berkerut dan alisku terangkat sebelah mengingat segala hal yang baru saja diceritakan Lenna sembari berjalan menuju ruanganku. Sampai beberapa saat kemudian aku masih terpaku di ruanganku dengan pekerjaan menumpuk tak tersentuh di atas meja karena pikiranku yang sibuk membayangkan situasi yang mungkin sedang terjadi di sini. Seorang pasien bernama Jill Conway (23 tahun) yang sedang menderita penyakit saluran pernapasan akut yang mengakibatkannya tidak bisa bersentuhan dengan udara kotor sedikitpun. Aku sudah pernah mendengar banyak alergi yang terjadi akibat polusi udara, dan ini bukan hal yang aneh. Namun, anehnya adalah dia satu-satunya pasien yang meminta dipindahkan ke Mica. Beberapa pasien yang lain lebih memilih daerah pedesaan yang jauh dari pusat kota untuk tinggal menjalani perawatan, namun Mica tidak bisa disamakan dengan pedesaan yang bebas polusi. Meskipun udara disini sangat bersih karena pepohonan yang tumbuh dimana-mana, namun tetap saja banyak kendaraan yang berlalu lalang disini. Perlahan aku mulai memahami situasi yang terjadi di sekelilingku saat ini dan mulai tersenyum lebar bahkan hingga sedikit tertawa keras. Hmm, kalian memilih jalur yang sangat ekstrim untuk datang ke sini, pikirku sambil terus menyortir laporan kesehatan beberapa pasien.
    Saat hampir tiba waktunya pulang, aku menyempatkan diri berkeliling klinik menyapa dokter-dokter lain yang baru saja datang untuk berganti jaga. Aku pun melewati ruangan Gerald namun sayang sekali ruangannya sudah gelap. Sepertinya, dia sudah pergi lebih cepat sebagaimana biasa. Saat tiba di dekat ruangan Jackson, aku melongokkan kepala ke dalam memeriksa apakah dia masih di dalam. Untung saja dia belum pulang, jadi aku bisa mengganggunya sebentar.
“Hai Jack. Belum pulang?”
“Yeah......, right. Ada apa ini? Aku mencium sesuatu yang tidak wajar.”
“Oh, ya ampun. Kenapa orang-orang di sini mulai bersikap sinis kepadaku setiap kali aku menyapa mereka? Apa aku salah jika ingin menyapa sebentar?”, balasku dengan wajah memberengut yang kulebih-lebihkan.
“Kau boleh dapat penghargaan Cannes (terdengar lebih seperti Guinness) karena aktingmu yang sangat menjiwai itu,” balasnya sambil tersenyum.
“Ada apa, C? Kau tidak mungkin hanya ingin menyapa dengan repot-repot secara khusus mendatangi ruanganku bukan?” tuturnya.
“Yah, sepertinya kau selalu bisa memahamiku dengan baik, uncle Jack.”
“Sialan! Jangan panggil aku paman, kau benar-benar membuatku tampak tua!”.
“I’m stating the obvious. Kau sendiri yang bilang tidak mau jalan bareng denganku karena akan membuatmu terlihat seperti sedang berjalan dengan keponakanmu sendiri kan? Dasar, kenapa orang tua selalu tidak konsisten seperti ini!”
“Oke, cukup, hentikan! Aku bisa memahami suasana hatimu yang kurang baik. Sekarang, ceritakan apa yang perlu kau ceritakan kepadaku sebelum istriku memintaku pulang.”
“Setuju. Oke, aku akan memulai cerita dari seorang teman yang mempunyai teman dekat. Cerita ini tentang teman dekat dari temanku itu.”
“Oke, teruskan...”
“Jadi, teman dekat dari temanku itu merasa kalau temannya sedikit menganggu. Dia sedikit bingung antara harus melanjutkan pertemanan ini atau tidak, karena ia mulai merasa tidak nyaman dengan lingkungannya bersama temanku itu. Jadi, menurutmu jika temanku ingin mempertahankan pertemanan dengan teman dekatnya itu, saran apa yang harus kuberikan kepadanya?”
“Waaah, aku tidak menyangka kau tertarik berhubungan dengan lawan jenis. Kukira kehidupanmu hanya dipenuhi dengan kerja.. kerja.. dan kerja...”.
“Ya Tuhan, benar-benar orang ini selalu tidak mengerti masalah anak zaman sekarang. Kenapa kau tidak mengerti? Kan aku sudah mengatakan sebelumnya bahwa ini cerita tentang temanku dan temannya, sama sekali tidak ada hubungannya denganku.”
“Oh, jadi temanmu itu sedikit mengganggu karena terus mengajakmu kencan sedangkan kau tidak terlalu nyaman padanya? Hmm, mari kita pikirkan solusinya bersama-sama sejenak. Katakan kepadaku alasan mengapa kau tidak menyukainya? Apa dia jelek? Atau dia tidak kaya?”
“Haaah, kenapa aku harus bertanya padamu? Sudahlah, jangan dilanjutkan UNCLE Jack!” balasku sambil berlari keluar ruangannya.
    Aku berlari-lari kecil sambil tertawa menuju ke ruanganku. Begitulah keadaanku sekarang di klinik, penuh hiburan dengan orang-orang baru yang sudah semakin dekat denganku. Kami membuat diri kami menjadi nyaman satu sama lain dengan sangat cepat, karena kami mengerti pentingnya kerjasama demi kelancaran urusan klinik. Aku semakin merasa betah berada di sini, meskipun sebenarnya berat harus berpisah dengan kawan-kawan lamaku di tempat tinggal yang lama. Tidak masalah lagi sekarang, mereka akan segera datang dan aku bisa bermain bersama mereka sepuasnya. Lebih tepatnya bukan bermain tetapi anggap saja kami akan bermain sambil sedikit mengeluarkan energi. Setidaknya pemikiran inilah yang membuat suasana hatiku semakin membaik hari ini meskipun kesialan menimpaku di tengah hari tadi. Saat mengemudikan mobilku menuju rumah, aku menerima telpon dari seseorang yang sudah sangat kukenal. Dengan senyuman lebar ku angkat telpon yang hanya sempat berdering selama 3 detik itu.
“Hai, dasar konyol! Siapa yang punya ide gila seperti itu?” ucapku tanpa repot-repot mengucapkan salam pada orang yang menelponku di seberang sana.
“Anak ini benar-benar tidak berubah! Mana sopan santunmu? Seharusnya kau sapa dulu aku dengan baik, paling tidak seharusnya kau tanya bagaimana kabarku setelah sekian lama tidak bertemu, bodoh!”.
“Bisa kita lewati bagian itu sebentar? Bagaimana kau bisa dapat ide yang aneh seperti itu? Kau tau aku hampir mati karena tidak bisa berhenti tertawa ketika menyadari kau akan datang ke klinik. Itu ide yang sangat konyol sekaligus brilian, Jill”.
“Hei, apa kau baru tau kalau aku ini orang yang sangat cerdas? Perlukah aku menunjukkan bukti ke geniusanku ini kepadamu Clara?”
“Baiklah nyonya, tentu saja aku mengakui kekuasaan dan kepintaranmu dalam segala hal. Maafkan aku yang sempat meragukan hal yang sudah sangat jelas terpampang di depan mata itu.”
“Oh shut up! Sepertinya keadaanmu sudah membaik.. Aku akan datang besok, sekarang aku sedang berkemas dan akan segera berangkat dengan pesawat yang tentu saja lengkap dengan segala peralatan kesehatan yang dibutuhkan oleh penderita alergi udara polutan seperti aku ini. Aku ingin datang dengan lebih menghebohkan lagi tetapi aku khawatir orang-orang di desamu tidak akan sanggup menghadapinya.”

    Aku hanya bisa tertawa keras mendengar setiap kata yang diucapkan oleh temanku ini. Jill adalah salah satu temanku yang berpenampilan spektakuler, bukan hanya karena dandanannya yang sensasional tetapi karena perilakunya yang juga selalu membuat sensasi. Entah karena kepribadiannya yang terlalu optimis bahwa dunia akan memandangnya sebagai seorang yang menakjubkan, atau karena alam bawah sadarnya yang berpikir bahwa ia adalah pusat perhatian, yang jelas segala hal yang dilakukannya harus mendapat perhatian banyak orang. Memang agak sedikit memalukan jika harus berhadapan dengan tanggapan orang-orang kepadanya, tetapi perilakunya yang seperti inilah yang kadang-kadang mendatangkan keuntungan bagi kami para sahabat setianya. Contohnya ketika kami sedang tersesat di suatu daerah tanpa ada seorangpun yang mau berhenti untuk sekedar ditanya, Jill akan melakukan sesuatu yang tidak terduga yang bisa membuat semua orang memperhatikan kami, setidaknya untuk menjawab pertanyaan kami ada di mana sekarang. Oleh karena itu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kami bisa tetap berteman baik hingga sekarang. Bahkan dia termasuk salah satu sahabat yang rela mati untukku, begitupun aku akan rela mati untukknya.

“Baiklah. Aku akan menyambut kedatangan tuan putri yang mulia esok hari. Apakah ada permintaan lain yang harus saya siapkan tuan putri?”
“Bagus.. bagus.. Begitulah seharusnya kau bersikap wahai pelayanku yang setia. Setidaknya siapkan aku sesosok prajurit tampan yang rela mati untukku di kediamanku nanti, karena aku tidak terbiasa tidur sendiri tanpa penjaga.”
“Ya Tuhan, kau ini benar-benar. Apa aku harus memantrai seseorang agar mau menjadi pengawalmu? Apa? Tidak biasa tidur sendirian? Kau bahkan bisa melewati ujian tinggal di hutan selama berhari-hari tanpa teman. Dasar perawan tua!”
“Hei, tega-teganya kau bilang aku perawan tua! Aku ini masih muda dan aku bangga dengan keperawananku, apa kau ada masalah?”
“Oh.... aku sangat senang, akhirnya aku bisa mendengar nada tinggimu lagi. Sepertinya kau lebih cocok berperan sebagai saudara tiri jahat dari sang tuan putri daripada jadi putri raja yang lemah lembut penuh sopan santun.”
“Waahh, aku benar-benar tidak bisa percaya ini. Temanku sendiri, teman yang selalu menemaniku selama hampir 5 tahun meragukan gelar tuan putri yang selama ini kujaga dengan baik tanpa cela!!”
“Baiklah, tuan putri memang tidak akan pernah salah, aku yang hanya seorang rakyat jelata inilah yang patut disalahkan.”
    Kami berdua tertawa bersama melalui telepon, perutku sampai terasa sakit karena terlalu banyak tertawa hari ini. Semua hal yang diucapkannya benar-benar membuatku meledak dalam tawa, beberapa saat yang lalu aku lupa jika ia benar-benar cewek yang sangat lucu dan aku benar-benar menyesal karena melupakan fakta itu. Kami terus berbicara hingga beberapa saat kemudian aku sampai di rumah dan terpaksa memutus telponnya karena aku harus segera masuk ke dalam sebelum semua orang bertanya mengapa aku tertawa-tawa sendiri seperti orang gila di depan mobilku.
“Aku pulaaaangg! Woww, apa yang bibi masak hari ini? Baunya benar-benar enak.”
Kedua keponakanku tertawa melihat tingkahku yang ternyum-senyum sambil memoncongkan mulut dan hidungku mencoba mencari sumber bau makanan yang benar-benar lezat ini.
“Ya Tuhan, lihat tingkahmu sendiri! Keponakanmu sampai menertawakan kelakuanmu, aku benar-benar malu”.
“Hemm, ayah sudah punya aku selama bertahun-tahun dan masih malu sampai sekarang? Benar-benar payah.” Balasku sambil berlari menuju kamar.
    Makan malam kami hari ini berlangsung dengan menyenangkan karena kami mendapat kabar bahagia yang sangat mengejutkan dari Bibi Michelle tentang kehamilannya, bahkan Paman Harry terlihat shock dan tidak bisa berkata-kata. Namun sesaat kemudian tawa kebahagiaan mengisi seluruh rumah dengan ucapan selamat dan do’a-do’a manis untuk calon adik Michael dan James. Berita yang satu ini benar-benar tidak kusangka, aku merasa senang karena ini berita yang baik. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam hati aku merasa gelisah dengan masa depan sang calon bayi di dalam perut mungil bibiku. Masa depan seperti apa yang akan menyongsongnya? Semoga aku bisa menyelamatkannya sebelum hal terburuk datang di desa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramuan Drama Cinta - Clara Ng

The Kingdom Out of Nowhere (Chapter I)

Jampi-Jampi Varaiya - Clara Ng